PENDIDIKANKEJURUAN
DI INDONESIA
DISUSUN
OLEH:
AKBAR
ROBI SALAM
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM JRUSAN
PSIKOLOGI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2012
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaykum Warahmatullahi
Wabarakatuh
Kadang kala manusia dalam mengarungi bahtera hidupnya selalu
menemui persoalan, misalnya menemui kesulitan ekonomi, kegagalan dalam mencapai
tujuan, seringkali bermalas-malasan, kurang kewibawaan, kurang disukai orang
banyak, bahkan kadang kala jiwa terancam. Untuk semua itu hendaklah di hadapi
dengan penuh ketaqwaan
Dan tawakal kepada Allah, bukan di hadapi dengan jalan yang
menyimpang dari ajaran agama.
Oleh sebab itu kami menyajikan makalah kami ini dengan
harapan dapat membantu kawan-kawan, untuk mengetahui hubungan antara
sholat dhuha kaitan dengan motivasi belajar, fikiran, dan juga tingkah laku
kita selama ini .
Dan kami mengucapkan kepada teman-teman apabila dalam
penyajian hasil observasi ini terdapat kekurangan atau kesalahan, kiranya teman-teman
untuk memberikan kritik dan saran demi lebih sempurnanya laporan yang kami buat ini. Terimakasih.
Wassalam Mualaikum Warohmatullahhi
Wabarohkatuh
Akbar
robi salam
Palembang, 22 november
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era
yang ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya
penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja.
Pendidikan harus mencerminkan proses memanusiakan manusia dalam arti
mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat luas. Hari Sudrajat
(2003) mengemukakan bahwa : “Muara dari suatu proses pendidikan, apakah itu
pendidikan yang bersifat akademik ataupun pendidikan kejuruan adalah dunia
kerja, baik sektor formal maupun sektor non formal”.
Tingkat keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di
segala bidang akan sangat bergantung pada sumber daya manusia sebagai aset
bangsa dalam mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan seluruh sumber daya
manusia yang dimiliki. Upaya tersebut dapat dilakukan dan ditempuh melalui
pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non
formal. Salah satu lembaga pada jalur pendidikan formal yang menyiapkan lulusannya
untuk memiliki keunggulan di dunia kerja, diantaranya melalui jalur pendidikan
kejuruan.
Pendidikan kejuruan yang dikembangkan di Indonesia
diantaranya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dirancang untuk menyiapkan
peserta didik atau lulusan yang siap memasuki dunia kerja dan mampu
mengembangkan sikap profesional di bidang kejuruan. Lulusan pendidikan
kejuruan, diharapkan menjadi individu yang produktif yang mampu bekerja menjadi
tenaga kerja menengah dan memiliki kesiapan untuk menghadapi persaingan kerja.
Kehadiran SMK sekarang ini semakin didambakan masyarakat; khususnya masyarakat
yang berkecimpung langsung dalam dunia kerja. Dengan catatan, bahwa lulusan
pendidikan kejuruan memang mempunyai kualifikasi sebagai (calon) tenaga kerja
yang memiliki keterampilan vokasional tertentu sesuai dengan bidang
keahliannya.
Gambaran tentang kualitas lulusan pendidikan kejuruan yang
disarikan dari Finch dan Crunkilton (1979), bahwa : “Kualitas pendidikan
kejuruan menerapkan ukuran ganda, yaitu kualitas menurut ukuran sekolah atau in-school success standards dan kualitas
menurut ukuran masyarakat atau out-of
school success standards”. Kriteria pertama meliputi aspek keberhasilan
peserta didik dalam memenuhi tuntutan kurikuler yang telah diorientasikan pada tuntutan
dunia kerja, sedangkan kriteria kedua, meliputi keberhasilan peserta didik yang
tertampilkan pada kemampuan unjuk kerja sesuai dengan standar kompetensi
nasional ataupun internasional setelah mereka berada di lapangan kerja yang
sebenarnya.
Upaya untuk mencapai kualitas lulusan pendidikan kejuruan
yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja tersebut, perlu didasari dengan
kurikulum yang dirancang dan dikembangkan dengan prinsip kesesuaian dengan
kebutuhan stakeholders. Kurikulum
pendidikan kejuruan secara spesifik memiliki karakter yang mengarah kepada
pembentukan kecakapan lulusan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pekerjaan
tertentu. Kecakapan tersebut telah diakomodasi dalam kurikulum SMK yang
meliputi kelompok Normatif, Adaptif dan kelompok Produktif.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang dimulai
dari berpikir mengenai ide kurikulum sampai bagaimana pelaksanaannya di
sekolah. Hasan (1988) mengungkapkan bahwa, aspek-aspek dalam prosedur
pengembangan kurikulum merupakan aspek-aspek kegiatan kurikulum yang terdiri
atas empat dimensi yang saling berhubungan satu terhadap yang lain, yaitu : (1) Kurikulum sebagai suatu ide atau
konsepsi, (2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, (3) Kurikulum sebagai
suatu kegiatan (proses) dan (4) Kurikulum sebagai suatu hasil belajar.
Kurikulum yang diimplementasikan di SMK saat ini, khusus
untuk kelompok produktif masih menggunakan kurikulum tahun 2004, sedangkan
untuk kelompok normatif dan adaptif sudah menggunakan model pengelolaan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006. Pada tataran implementasi
kurikulum ini mauntut kreativitas guru di dalam memberikan pengalaman belajar
yang dapat meningkatkan kompetensi peserta didik, karena betapapun baiknya
kurikulum yang telah direncanakan pada akhirnya berhasil atau tidaknya sangat
tergantung pada sentuhan aktivitas dan kreativitas guru sebagai ujung tombak
implementasi suatu kurikulum.
Pendidikan dan pelatihan di SMK; khusnya pada program
produktif yang sesuai dengan bidang keahlian, secara ideal dituntut untuk
menerapkan pendekatan pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman belajar
kepada peserta didik di dalam penguasaan kompetensi atau kemampuan kerja sesuai
dengan tuntutan dunia usaha dan industri. Pendekatan pembelajaran tersebut
terdiri dari : Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based Training), Pelatihan Berbasis Produksi (Production Based Training) dan Pelatihan
Berbasis Industri. Dengan menerapkan pendekatan pembelajaran ini diharapkan
mampu memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik di dalam penguasaan
seluruh kompetensi yang harus dikuasai sesuai Standar Kompetensi Nasional,
sehingga mereka mampu mengikuti uji level pada setiap akhir semester untuk
Kelas X dan XI serta uji kompetensi untuk kelas XII yang dilaksanakan oleh
pihak industri sebagai inatitusi pasangan
BAB II
KARAKTERISTIK DAN TUNTUTAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEJURUAN
A. Karakteristik Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan satuan pendidikan lainnya. Perbedaan tersebut
dapat dikaji dari tujuan pendidikan, substansi pelajaran, tuntutan pendidikan
dan lulusannya.
1.
Tujuan pendidikan kejuruan
Pendidikan kejuruan bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Dari tujuan pendidikan kejuruan
tersebut mengandung makna bahwa pendidikan kejuruan di samping menyiapkan
tenaga kerja yang profesional juga mempersiapkan peserta didik untuk dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan program
kejuruan atau bidang keahlian.
Berdasarkan pada tujuan pendidikan
kejuruan di atas, maka untuk memahami filosofi pendidikan kejuruan perlu dikaji
dari landasan penyelenggaraan pendidikan kejuruan sebagai berikut :
a. Asumsi tentang anak didik
Pendidikan kejuruan harus memandang
anak didik sebagai individu yang selalu dalam proses untuk mengembangkan
pribadi dan segenap potensi yang dimilikinya. Pengembangan ini menyangkut
proses yang terjadi pada diri anak didik, seperti proses menjadi lebih dewasa,
menjadi lebih pandai, menjadi lebih matang, yang menyangkut proses perubahan
akibat pengaruh eksternal, antara lain berubahnya karir atau pekerjaan akibat
perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Pendidikan kejuruan merupakan upaya
menyediakan stimulus berupa pengalaman belajar untuk membantu mereka dalam
mengembangkan diri dan potensinya. Oleh karena itu, keunikan tiap individu
dalam berinteraksi dengan dunia luar melalui pengalaman belajar merupakan upaya
terintegrasi guna menunjang proses perkembangan diri anak didik secara optimal.
Kondisi ini tertampilkan dalam prinsip pendidikan kejuruan “learning by doing”, dengan kurikulum
yang berorientasi pada dunia kerja.
b. Konteks sosial pendidikan
kejuruan
Tujuan dan isi pendidikan kejuruan
senantiasa dibentuk oleh kebutuhan masyarakat yang berubah begitu pesat,
sekaligus juga harus berperan aktif dalam ikut serta menentukan tingkat dan
arah perubahan masyarakat dalam bidang kejuruannya tersebut.
Pendidikan kejuruan berkembang
sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat, melalui dua institusi sosial.
Pertama, institusi sosial yang berupa struktur pekerjaan dengan organisasi,
pembagian peran atau tugas, dan perilaku yang berkaitan dengan pemilihan,
perolehan dan pemantapan karir. Institusi sosial yang kedua, berupa pendidikan
dengan fungsi gandanya sebagai media pelestarian budaya sekaligus sebagai media
terjadinya perubahan sosial.
c. Dimensi ekonomi pendidikan kejuruan
Hubungan dimensi ekonomi dengan
pendidikan kejuruan secara konseptual dapat dijelaskan dari kerangka investasi
dan nilai balikan (value of return)
dari hasil pendidikan kejuruan. Dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan, baik
swasta maupun pemerintah semestinya pendidikan kejuruan memiliki konsekuensi
investasi lebih besar daripada pendidikan umum. Di samping itu, hasil
pendidikan kejuruan seharusnya memiliki peluang tingkat balikan (rate of return) lebih cepat dibandingkan
dengan pendidikan umum. Kondisi tersebut dimungkinkan karena tujuan dan isi
pendidikan kejuruan dirancang sejalan dengan perkembangan masyarakat, baik
menyangkut tugas-tugas pekerjaan maupun pengembangan karir peserta didik.
Pendidikan kejuruan merupakan upaya mewujudkan peserta didik
menjadi manusia produktif, untuk mengisi kebutuhan terhadap peran-peran yang
berkaitan dengan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat. Dalam kerangka
ini, dapat dikatakan bahwa lulusan pendidikan kejuruan seharusnya memiliki
nilai ekonomi lebih cepat dibandingkan pendidikan umum.
d. Konteks Ketenagakerjaan
Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan harus lebih
memfokuskan usahanya pada komponen pendidikan dan pelatihan yang mampu
mengembangkan potensi manusia secara optimal. Meskipun pada dasarnya hubungan
antara pendidikan kejuruan dan kebijakan ketenagakerjaan adalah hubungan yang
didasari oleh kepentingan ekonomis, tetapi harus selalu diingat bahwa hubungan
penyelenggraan pendidikan kejuruan tidak semata-mata ditentukan oleh
kepentingan ekonomi.
Dalam konteks ini diartikan bahwa
pendidikan kejuruan, dengan dalih kepentingan ekonomi, tidak seharusnya hanya
mendidik anak didik dengan seperangkat skill atau kemampuan spesifik untuk
pekerjaan tertentu saja, karena keadaan ini tidak memperhatikan anak didik
sebagai suatu totalitas. Mengembangkan kemampuan spesifik secara terpisah dari
totalitas pribadi anak didik, berarti memberikan bekal yang sangat terbatas
bagi masa depannya sebagai tenaga kerja.
2.
Peserta didik
Peserta didik pada Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) lebih dikhususkan bagi anak yang berkeinginan memiliki kemampuan
vokatif. Harapan mereka setelah lulus dapat langsung bekerja atau melanjutkan
ke perguruan tinggi dengan mengambil bidang profesional atau bidang akademik.
Usia peserta didik secara umum pada rentang 15/16 – 18/19 tahun, atau peserta
didik berada pada masa remaja.
Masa remaja merupakan masa peralihan
antara masa anak dengan dewasa. Pada masa ini biasanya terjadi gejolak atau
kemelut yang berkenaan dengan segi afektif, sosial, intelektual dan moral.
Kondisi ini terjadi karena adanya perubahan-perubahan baik fisik maupun psikis
yang sangat cepat yang mengganggu kestabilan kepribadian anak. Oleh karena itu,
di dalam merancang pembelajaran bagi anak yang berusia remaja ini seyogianya
memperhatikan tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan para remaja.
Beberapa tugas perkembangan remaja yang disarikan dari Sukmadinata (2001),
yaitu :
a.
Mampu menjalin hubungan yang lebih matang dengan sebaya dan jenis kelamin lain.
Belajar bekerja dengan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu, bisa
melepaskan perasaan pribadi dan mampu memimpin tanpa mendominasi.
b.
Mampu melakukan peran-peran sosial sebagai laki-laki dan wanita. Mampu
menghargai, menerima dan melakukan peran-peran sosial sebagai laki-laki dan
wanita dewasa.
c.
Menerima kondisi jasmaninya dan dapat menggunakannya secara efektif. Remaja
dituntut untuk menyenangi dan menerima dengan wajar kondisi badannya, dapat
menghargai atau menghormati kondisi badan orang lain, dapat memelihara dan
menjaga kondisi badannya.
d.
Memiliki keberdirisendirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
Remaja diharapkan telah lepas dari ketergantungan sebagai kanak-kanak dari
orang tuanya, dapat menyayangi orang tua, menghargai orang tua atau orang
dewasa lainnya tanpa tergantung pada mereka.
e.
Memiliki perasaan mampu berdiri sendiri dalam bidang ekonomi. Terutama pada
anak laki-laki, kemudian berangsur-angsur pula tumbuh pada anak wanita,
perasaan mampu untuk mencari nafkah sendiri.
f.
Mampu memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan. Anak telah mampu
membuat perencanaan karir, memilih pekerjaan yang cocok dan mampu ia kerjakan,
membuat persiapan-persiapan yang sesuai.
g.
Belajar mempersiapkan diri untuk perkawinan dan hidup berkeluarga. Memiliki
sikap yang positif terhadap hidup berkeluarga dan punya anak.
h.
Mengembangkan konsep-konsep dan keterampilan intelektual untuk hidup
bermasyarakat. Mengembangkan konsep-konsep tentang hukum, pemerintahan,
ekonomi, politik, institusi sosial yang cocok bagi kehidupan modern,
mengembangkan keterampilan berpikir dan berbahasa untuk dapat memecahkan
problema-problema masyarakat modern.
i.
Memiliki perilaku sosial seperti yang diharapkan masyarakat. Dapat
berpartisipasi dengan rasa tanggung jawab bagi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat.
j.
Memiliki seperangkat nilai yang menjadi pedoman bagi perbuatannya. Telah
memiliki seperangkat nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan, ada kemauan
dan usaha untuk merealisasikannya.
3.
Substansi pendidikan kejuruan
Substansi dari pendidikan kejuruan
harus menampilkan karakteristik pendidikan kejuruan yang tercermin dalam
aspek-aspek yang erat dengan perencanaan kurikulum, yaitu :
a. Orientasi (Orientation)
Kurikulum pendidikan kejuruan telah berorientasi
pada proses dan hasil atau lulusan. Keberhasilan utama kurikulum pendidikan
kejuruan tidak hanya diukur dengan keberhasilan pendidikan peserta didik di
sekolah saja, tetapi juga dengan hasil prestasi kerja dalam dunia kerja. Finch
dan Crunkilton (1984 : 12) mengemukakan bahwa : Kurikulum pendidikan kejuruan
berorientasi terhadap proses (pengalaman dan aktivitas dalam lingkungan
sekolah) dan hasil (pengaruh pengalaman dan aktivitas tersebut pada peserta
didik).
b. Dasar kebenaran/Justifikasi (Justification)
Pengembangan program pendidikan
kejuruan perlu adanya alasan atau justifikasi yang jelas. Justifikasi untuk
program pendidikan kejuruan adalah adanya kebutuhan nyata tenaga kerja di
lapangan kerja atau di dunia usaha dan industri. Dasar kebenaran/justifikasi
pendidikan kejuruan menurut Finch dan Crunkilton (1984 : 12), meluas hingga
lingkungan sekolah dan masyarakat. Ketika kurikulum berorientasi pada peserta
didik, maka dukungan bagi kurikulum tersebut berasal dari peluang kerja yang
tersedia bagi para lulusan.
c. Fokus (Focus)
Fokus kurikulum dalam pendidikan
kejuruan tidak terlepas pada pengembangan pengetahuan mengenai suatu bidang
tertentu, tetapi harus secara simultan mempersiapkan peserta didik yang
produktif. Finch dan Crunkilton (1984 : 13) mengemukakan bahwa : Kurikulum
pendidikan kejuruan berhubungan langsung dengan membantu siswa untuk
mengembangkan suatu tingkat pengetahuan, keahlian, sikap dan nilai yang luas.
Setiap aspek tersebut akhirnya bertambah dalam beberapa kemampuan kerja
lulusan. Lingkungan belajar pendidikan kejuruan mengupayakan di dalam
mengembangkan pengetahuan peserta didik, keahlian meniru, sikap dan nilai serta
penggabungan aspek-aspek tersebut dan aplikasinya bagi lingkkungan kerja yang
sebenarnya.
Seluruh kemampuan tersebut di atas,
dapat dikuasai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar yang diberikan,
yaitu berupa rangsangan yang diaplikasikan baik pada situasi kerja yang
tersimulasi lewat proses belajar mengajar di sekolah maupun situasi kerja yang
sebenarnya pada dunia usaha atau industri (pembelajaran di dunia kerja). Dari
hasil belajar atau kemampuan yang telah dikuasai diharapkan dapat memberikan
kontribusi pada pengembangan diri peserta didik, sehingga mereka mampu bekerja
sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan industri.
d. Standar keberhasilan di sekolah
(In-school success standards)
Kriteria untuk menentukan
keberhasilan suatu lembaga pendidikan kejuruan diukur dari keberhasilan peserta
didik di sekolah, mengenai beberapa aspek yang akan dia masuki. Penilaian
keberhasilan pada peserta didik di sekolah harus pada penilaian sebenarnya atau
kemampuan melakukan suatu pekerjaan. Dengan kata lain bahwa dalam standar
keberhasilan sekolah harus berhubungan erat dengan keberhasilan yang diharapkan
dalam pekerjaan, dengan kriteria yang digunakan oleh guru dengan mengacu pada
standar atau prosedur kerja yang telah ditentukan oleh dunia kerja (dunia usaha
dan dunia industri).
e. Standar keberhasilan di luar
sekolah (Out-of school success standards)
Penentu keberhasilan tidak terbatas
pada apa yang terjadi di lingkungan sekolah. Standar keberhasilan di luar
sekolah berkaitan dengan pekerjaan atau kemampuan kerja yang biasanya dilakukan
oleh dunia usaha atau dunia industri. Menurut Starr (1975), bahwa : Walaupun
standar keberhasilan beragam antar sekolah dan antar Negara, tetapi
keberhasilan tersebut seringkali mengambil bentuk kepuasan pegawai dengan
keahlian lulusan, suatu persentase tinggi lulusan yang mendapatkan pekerjaan di
bidang persiapan atau dalam bidang yang berhubungan, kepuasan kerja lulusan,
kemajuan yang dialami lulusan.
Sebagai contoh, untuk menentukan
keberhasilan di luar sekolah yang sudah dilakukan pada SMK adalah dengan
dilaksanakannya uji level untuk kelas X dan XI, serta uji kompetensi untuk
kelas XII yang dilakukan oleh dunia usaha atau industri berdasarkan standar
kompetensi nasional sesuai bidang keahlian.
Standar kelulusan di luar sekolah (out-of school success standards)
dilakukan oleh dunia usaha dan industri yang mengacu pada standar kompetensi
sesuai bidang keahlian atau produk yang dihasilkan oleh masing-masing industri.
f. Hubungan kerja sama dengan
masyarakat (School-community relationships)
Suatu usaha pendidikan harus
berhubungan dengan masyarakat, demikian pula dengan pendidikan kejuruan
memiliki tanggung jawab di dalam mempertahankan hubungan yang kuat dengan
berbagai bidang keahlian yang berkembang di masyarakat.
Pengertian msyarakat yang dimakasud
adalah dunia usaha dan dunia industri. Penyelenggaraan pendidikan kejuruan
harus relevan dengan tuntutan kerja pada dunia usaha atau industri, maka
masalah hubungan antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha atau industri
merupakan suatu ciri karakteristik yang penting bagi pendidikan kejuruan.
Perwujudan hubungan timbal balik
berupa kesediaan dunia usaha atau industri, menampung peserta didik untuk
mendapat kesempatan pengalaman belajar di lapangan kerja atau industri,
merpakan bentuk kerjasama yang saling menguntungkan.
g. Keterlibatan pemerintah pusat (Federal involvement)
Keterlibatan pemerintah pusat ini
berkaitan dengan dana pendidikan yang akan dialokasikan, karena hal ini akan
mempengaruhi kurikulum. Misalnya : Ketentuan jam pengajaran kejuruan tertentu
dan jenis perlengkapan tertentu yang digunakan di bengkel atau laboratorium
dapat membantu perkembangan suatu tingkat kualitas yang lebih tinggi.
h. Kepekaan (Responsivenenss)
Komitmen yang tinggi untuk selalu
berorientasi ke dunia kerja, pendidikan kejuruan harus mempunyai ciri berupa
kepekaan atau daya suai terhadap perkembangan masyarakat pada umumnya, dan
dunia kerja pada khususnya. Perkembangan ilmu dan teknologi, inovasi dan
penemuan-penemuan baru di bidang produksi dan jasa, besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pendidikan kejuruan. Untuk itulah pendidikan kejuruan harus
bersifat responsif proaktif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, dengan
upaya lebih menekankan kepada sifat adaptabilitas dan fleksibilitas untuk
menghadapi prospek karir peserta didik dalam jangka panjang.
i. Logistik
Kurikulum pendidikan kejuruan dalam
implementasi kegiatan pembelajaran perlu didukung oleh fasilitas beajar yang
memadai, karena untuk mewujudkan situasi belajar yang dapat mencerminkan
situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif, diperlukan banyak
perlengkapan, sarana dan perbekalan logistik. Bengkel kerja dan laboratorium
adalah kelengkapan utama dalam sekolah kejuruan yang harus ada sebagai
fasilitas bagi peserta didik di dalam mengembangkan kemampuan kerja sesuai
dengan tuntutan dunia usaha dan industri.
Kebutuhan untuk koordinasi program
kejuruan yang bekerja sama dengan industri di masyarakat, berhubungan erat
untuk menjalin dan mempertahankan pusat kerja bagi peserta didik menunjukkan
suatu susunan unit permasalahan logistik.
j.
Pengeluaran (Expense)
Pengeluaran rutin sebagai biaya
pendidikan pada pendidikan kejuruan yang menunjang kegiatan pembelajaran,
mencakup biaya listrik, air, pemeliharaan dan penggantian peralatan, biaya
transportasi ke lokasi/industri (tempat praktek kerja/magang) yang jauh dari
sekolah. Di samping itu, peralatan harus diperbaharui secara periodik juga guru
berharap untuk memberikan pengalaman belajar yang sebenarnya bagi peserta didik
sebagaimana layaknya di industri, maka ini bisa menjadi mahal. Yang terakhir
yang juga harus menjadi perhatian adalah pembelian bahan habis sebagai bahan
praktikum yang digunakan secara rutin sesuai dengan program keahlian yang
dikembangkan pada SMK masing-masing.
Dari uraian mengenai karakteristik
pendidikan kejuruan yang disarikan dari Finch dan Crunkilton (1984) di atas,
dapat dijadikan acuan di dalam pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan di
Indonesia. Kurikulum pendidikan kejuruan yang dikembangkan di Indoneisa
seyogianya mengacu pada karakteristik sebagai berikut :
1)
Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki
lapangan kerja
2)
Pendidikan kejuruan didasarkan atas kebutuhan dunia kerja
3)
Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
4)
Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan peserta didik harus pada “hands-on” atau performance dalam dunia kerja
5)
Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci keberhasilan pendidikan
kejuruan
6)
Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan antisipatif terhadap
kemajuan teknologi
7)
Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning
by doing”
8)
Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktek sesuai
dengan tuntutan dunia usaha dan industri
B. Tuntutan Perkembangan Pendidikan
Kejuruan
Perkembangan teknologi menuntut
adanya perkembangan pula pada pendidikan kejuruan, karena saat ini tatanan
kehidupan pada umumnya dan tatanan perekonomian pada khususnya sedang mengalami
pergeseran paradigma ke arah global. Pergeseran ini akan membuka peluang kerja
sama antar Negara semakin terbuka dan di sisi lain, persaingan antar Negara
semakin ketat. Untuk meningkatkan kemampuan persaingan dalam perdagangan bebas,
diperlukan serangkaian kekuatan daya saing yang tangguh, antara lain kemampuan
manajemen, teknologi dan sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan
sumber daya aktif yang dapat menentukan kelangsungan hidup dan kemenangan dalam
persaingan suatu bangsa.
Pendidikan memiliki peran yang
sangat strategis dalam mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh untuk
menghadapi persaingan bebas. Termasuk pendidikan kejuruan yang menyiapkan
peserta didik atau sumber daya manusia yang memiliki kemampuan kerja sebagai
tenaga kerja menengah sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan dunia industri.
Oleh karena itu sesuai dengan tuntutan perkembangan pendidikan kejuruan, maka
perlu adanya pembaharuan pendidikan dan pelatihan kejuruan di SMK untuk masa
depan.
1.
Tuntutan peserta didik
Pendidikan kejuruan memiliki peran untuk
menyiapkan peserta didik agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri
(wiraswasta) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada. SMK sebagai salah satu
institusi yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan
sebagaimana yang diharapkan dunia kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya,
memiliki daya adaptasi dan daya saing yang tinggi. Atas dasar itu, pengembangan
kurikulum dalam rangka penyempurnaan pendidikan menengah kejuruan harus
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja.
Tuntutan peserta didik dan lulusan
yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja perlu dijadikan sumber pijakan di
dalam merumuskan tujuan pendidikan kejuruan. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
sebagai bentuk satuan pendidikan kejuruan sebagaimana ditegaskan dalam
penjelasan Pasal 15 UU SISDIKNAS, merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu, yang
dirumuskan dalam tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut.
Tujuan Umum :
a.
Meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.
Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi warga Negara yang berahlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung
jawab.
c.
Mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki wawasan kebangsaan, memahami
dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia
d.
Mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap lingkungan
hidup, dengan secara aktif turut memelihara dan melestarikan lingkungan hidup,
serta memanfaatkan sumber daya alam dengan efektif dan efisien.
Tujuan Khusus :
a.
Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, maupun bekerja
mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri
sebagai tenaga tingkat kerja menengah, sesuai dengan kompetensi dalam program
keahlian yang dipilihnya.
b.
Menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam
berkompetisi, beradaptasi di lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap
profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya.
c.
Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, agar mampu
mengembangkan diri di kemudian hari baik secara mandiri maupun melalui jenjang
pendidikan yang lebih tinggi
d.
Membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi sesuai dengan program
keahlian yang dipilih.
(Disarikan
dari Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana, 2004).
2. Tuntutan menjawab kebutuhan
masyarakat
Ditinjau dari perspektif
perkembangan kebutuhan pembelajaran dan aksesibilitas duia usaha/industri,
sekurang-kurangnya tiga dimensi pokok yang menjadi tantangan bagi SMK, baik
dalam konteks regional maupun nasional, diantaranya :
a.
Implementasi program pendidikan dan pelatihan harus berfokus pada pendayagunaan
potensi sumber daya lokal, sambil mengoptimalkan kerjasama secara intensif
dengan institusi pasangan
b.
Pelaksanaan kurikulum harus berdasarkan pendekatan yang lebih fleksibel sesuai
dengan trend perkembangan dan kemajuan teknologi agar kompetensi yang diperoleh
peserta didik selama dan sesudah mengikuti program diklat, memiliki daya
adaptasi yang tinggi
c.
Program pendidikan dan pelatihan sepenuhnya harus berorientasi mastery learning (belajar tuntas) dengan
melibatkan peran aktif – partisipatif para stakeholders
pendidikan, termasuk optimalisasi peran Pemerintah Daerah untuk merumuskan
pemetaan kompetensi ketenagakerjaan di daerahnya sebagai input bagi SMK dalam
penyelenggaraan diklat berkelanjutan.
Untuk mencari solusi dari tantangan
tersebut di atas, SMK sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan dan
pelatihan kejuruan harus mampu memberikan layanan pendidikan terbaik kepada
peserta didik walaupun kondisi fasilitasnya sangat beragam. Seperti diketahui,
bahwa investasi dan pembiayaan operasional terbesar yang dilakukan oleh
pemerintah dalam pendidikan kejuruan adalah pada sistem SMK. Dengan fenomena
ini, apakah SMK masih diperlukan ?
Pembukaan dan penutupan suatu SMK pada dasarnya sangat tergantung
pada tuntutan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia di wilayah atau daerah
setempat. Pembukaan institusi SMK baru sangat dimungkinkan jika terdapat
tuntutan kebutuhan sumber daya manusia yang terkait dengan peran dan fungsi
SMK. Sebagaimana yang dikemukakan Djojonegoro (1998), bahwa : “Secara teoritik
pendidikan kejuruan sangat dipentingkan karena lebih dari 80 % tenaga kerja di
lapangan kerja adalah tenaga kerja tingkat menengah ke bawah dan sisanya kurang
dari 20 % bekerja pada lapisan atas. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan
kejuruan jelas merupakan hal penting”.
Penutupan suatu institusi SMK hanya dimungkinkan jika secara
hukum tidak dapat dipertahankan atau karena adanya tuntutan masyarakat yang
sama sekali tidak dapat dipertahankan atau dihindari. Namun pada dasarnya,
tidak ada alasan untuk menutup SMK selama institusi tersebut masih dapat
menjalankan peran dan fungsi serta tidak bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Upaya untuk mempertahan SMK yang dapat menjawab tuntutan
kebutuhan masyarakat, dalam hal ini SMK harus mampu menjalankan peran dan
fungsinya dengan baik. Dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut, maka
pendidikan dan pelatihan di SMK perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan
kejuruan yang dikemukakan Prosser (Djojonegoro, 1998); sebagai berikut :
a.
Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih merupakan
replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja.
b.
Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas
latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan
di tempat kerja.
c.
Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih seseorang dalam kebiasaan
berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendri
d.
Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat memampukan setiap individu
memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang paling
tinggi
e.
Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan
hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya
dan yang dapat untung darinya
f.
Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk
kebiasaan kerja dan kebiasaan berfkir yang benar diulangkan sehingga pas
seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya
g.
Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman yang
sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses
kerja yang akan dilakukan
h.
Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang
agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut
i.
Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar (memperhatikan
tanda-tanda pasar kerja)
j.
Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan
diberikan pada pekerjaan yang nyata
k.
Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi
tersebut
l.
Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi (body
of content) yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya
m.
Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai
dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling efektif
jika dilakukan lewat pengajaran kejuruan
n.
Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan
pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik
tersebut
o.
Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia luwes dan mengalir
daripada kaku dan terstandar
p.
Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka
pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.
3.
Tuntutan pengelolaan pendidikan kejuruan
Tuntutan pengelolaan pada pendidikan
kejuruan harus sesuai dengan kebijakan link
and match, yaitu perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk
pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit
menjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan sumber daya manusia.
Dimensi pembaharuan yang diturunkan dari kebijakan link and match, yaitu :
a. Perubahan dari pendekatan Supply
Driven ke Demand Driven
Dengan deman driven ini mengharapkan dunia usaha dan dunia industri atau
dunia kerja lebih berperan di dalam menentukan, mendorong dan menggerakkan
pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang lebih berkepentingan dari
sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam pelaksanaannya, dunia kerja ikut berperan
serta karena proses pendidikan itu sendiri lebih dominan dalam menentukan
kualitas tamatannya, serta dalam evaluasi hasil pendidikan itupun dunia kerja
ikut menentukan supaya hasil pendidikan kejuruan itu terjamin dan terukur
dengan ukuran dunia kerja.
Sebagai salah satu bentuk penerapan
prinsip demand driven, maka dalam
pengembangan kurikulum SMK harus melakukan sinkronisasi kurikulum yng
direalisasikan dalam program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Dengan melakukan
sinkronisasi kurikulum, penyelengaraan pembelajaran di SMK diupayakan sedekat
mungkin dengan kebutuhan dan kondisi dunia kerja/industri, serta memiliki
relevansi dan fleksibilitas tinggi dengan tuntutan lapangan. Melalui
sinkronisasi kurikulum ini, diharapkan sekolah dapat membaca keahlian dan
performansi apa yang dibutuhkan dunia usaha atau industri untuk dapat dimasuki
oleh lulusan SMK.
b. Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah (School Based
Program) ke sistem berbasis ganda (Dual Based Program)
Perubahan dari pendidikan berbasis
sekolah, ke pendidikan berbasis ganda sesuai dengan kebijakan link and match, mengharapkan supaya
program pendidikan kejuruan itu dilaksanakan di dua tempat. Sebagian program
pendidikan dilaksanakan di sekolah, yaitu teori dan praktek dasar kejuruan, dan
sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif yang
diperoleh melalui prinsip learning by
doing. Pendidikan yang dilakukan melalui proses bekerja di dunia kerja akan
memberikan pengetahuan keterampilan dan nilai-nilai dunia kerja yang tidak
mungkin atau sulit didapat di sekolah, antara lain pembentukan wawasan mutu,
wawasan keunggulan, wawasan pasar, wawasan nilai tambah, dan pembentukan etos kerja.
c. Perubahan dari model pengajaran yang mengajarkan
mata-mata pelajaran ke model pengajaran berbasis kompetensi
Perubahan ke model pengajaran ke
berbasis kompetensi, bermaksud menuntun proses pengajaran secara langsung
berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan. Pengajaran berbasis
kompetensi ini sekaligus memerlukan perubahan kemasan kurikulum kejuruan ke
dalam kemasan berbentuk paket-paket kompetensi.
d. Perubahan dari program dasar yang sempit (Narrow Based)
ke program dasar yang mendasar, kuat dan luas (Broad Based)
Kebijakan link and match menuntut adanya pembaharuan, mengarah kepada
pembentukan dasar yang mendasar, kuat dan lebih luas. Sistem baru yang
berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan mutu dan keunggulan menganut prinsip,
bahwa : tidak mungkin membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas dan yang
memiliki keunggulan, kalau tidak diawali dengan pembentukan dasar yang kuat.
Dalam rangka penguatan dasar ini, maka peserta didik perlu diberi bekal dasar
yang berfungsi untuk membentuk keunggulan, sekaligus beradaptasi terhadap
perkembangan IPTEK, dengan memperkuat penguasaan matematika, IPA, Bahasa
Inggris dan Komputer. Sistem baru ini harus memberi dasar yang lebih luas
tetapi kuat dan mendasar, yang memungkinkan seseorang tamatan SMK memiliki
kemampuan menyesuaikan diri terhadap kemungkinan perubahan pekerjaan.
e. Perubahan dari sistem pendidikan formal yang kaku, ke
sistem yang luwes dan menganut prinsip multy entry, multy exit
Dengan adanya perubahan dari supply driven ke demand driven, dari schools
based program ke dual based program,
dari model pengajaran mata pelajaran ke program berbasis kompetensi; diperlukan
adanya keluwesan yang memungkinkan pelaksanaan praktek kerja industri dan
pelaksanaan prinsip multy entry multy
exit. Prinsip ini memungkinkan peserta didik SMK yang telah memiliki
sejumlah satuan kemampuan tertentu (karena program pengajarannya berbasis
kompetensi), mendapatkan kesempatan kerja di dunia kerja, maka peserta didik
tersebut dimungkinkan meninggalkan sekolah. Dan kalau peserta didik tersebut
ingin masuk sekolah kembali menyelesaikan program SMK nya, maka sekolah harus
membuka diri menerimanya, dan bahkan menghargai dan mengakui keahlian yang
diperoleh peserta didik yang bersangkutan dari pengalaman kerjanya. Di samping
itu, sistem program berbasis ganda juga memerlukan pengaturan praktek kerja di
industri sesuai dengan aturan kerja yang berlaku di industri yang tidak sama
dengan aturan kalender belajar di sekolah.
f. Perubahan dari sistem yang tidak mengakui keahlian yang
telah diperoleh sebelumnya, ke sistem yang mengakui keahlian yang diperoleh
dari mana dan dengan cara apapun kompetensi itu diperoleh (Recognition of prior
learning)
Sistem baru pendidikan kejuruan
harus mampu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang
dimiliki oleh seseorang. Sistem ini akan memotivasi banyak orang yang sudah
memiliki kompetensi tertentu, misalnya dari pengalaman kerja, berusaha
mendapatkan pengakuan sebagai bekal untuk pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
Untuk ini SMK perlu menyiapkan diri sehingga memiliki instrument dan kemampuan
menguji kompetensi seseorang darimana dan dengan cara apapun kompetensi itu
didapatkan.
g. Perubahan dari pemisahan antara pendidikan dengan
pelatihan kejuruan, ke sistem baru yang mengintegrasikan pendidikan dan
pelatihan kejuruan secara terpadu
Program baru pendidikan yang
mengemas pendidikannya dalam bentuk paket-paket kompetensi kejuruan, akan
memudahkan pengakuan dan penghargaan terhadap program pelatihan kejuruan dan
program pendidikan kejuruan. Sistem baru ini memerlukan standarisasi
kompetensi, dan kompetensi yang terstandar itu bisa dicapai melalui program
pendidikan, program pelatihan atau bahkan dengan pengalaman kerja yang
ditunjang dengan inisiatif belajar sendiri.
h. Perubahan dari sistem terminal ke
sistem berkelanjutan
Sistem baru tetap mengharapkan dan
mengutamakan tamatan SMK langsung bekerja, agar segera menjadi tenaga
produktif, dapat memberi return atas
investasi SMK. Sistem baru juga mengakui banyak tamatan SMK yang potensial, dan
potensi keahlian kejuruannya akan lebih berkembang lagi setelah bekerja.
Terhadap mereka ini diberi peluang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi (misalnya program Diploma), melalui suatu proses
artikulasi yang mengakui dan menghargai kompetensi yang diperoleh dari SMK dan
dari pengalaman kerja sebelumnya.
Untuk mendapatkan sistem artikulasi
yang efisien diperlukan “program antara” (bridging
program) guna memantapkan kemampuan dasar tamatan SMK yang sudah
berpengalaman kerja, supaya siap melanjutkan ke program pendidikan yang lebih
tinggi.
i. Perubahan dari manajemen terpusat ke pola manajemen
mandiri (prinsip desentralisasi)
Pola baru manajemen mandiri
dimaksudkan memberi peluang kepada propinsi dan bahkan sekolah untuk menentukan
kebijakan operasional, asal tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Kebijakan
nasioanl dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis, supaya memberi peluang
bagi para pelaksana di lapangan berimprovisasi dan melakukan inovasi. Proses
pendewasaan SMK perlu ditekankan, untuk menumbuhkan rasa percaya diri sekolah
melakukan apa yang baik menurut sekolah, dengan prinsip akuntabilitas (accountability) yang secara taat azas
memberikan penghargaan kepada mereka yang pantas dihargai, dan menindak mereka
yang pantas ditindak.
j. Perubahan dari ketergantungan sepenuhnya dari pembiayaan
pemerintah pusat, ke swadana dengan subsidi pemerintah pusat
Sejalan dengan prinsip demand driven, dual based program, pendewasaan manajemen sekolah, dan pengembangan
unit produksi sekolah, sistem baru diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
swadana pada SMK, dan posisi lokasi dana dari pemerintah pusat bersifat
membantu atau subsidi. Sistem ini juga diharapkan mampu mendorong SMK berpikir
dan berperilaku ekonomis.
BAB III
MODEL KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN :
SMK PROGRAM KEAHLIAN TATA BUSANA
A. Dasar Pemikiran
1.
Konsep dasar pendidikan kejuruan
Pendidikan kejuruan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan pendidikan umum. Perbedaan tersebut dapat
dikaji dari kriteria pendidikan, substansi pelajaran dan lulusannya. Pendidikan
kejuruan seyogianya memiliki kriteria sebagai berikut :
a.
Orientasi pada kinerja individu dunia kerja
b.
Jastifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan
c.
Fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotor, afektif dan kognitif
d.
Tolok ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah
e.
Kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja
f.
Memerlukan saana dan prasarana yang memadai
g.
Adanya dukungan masyarakat
(Disarikan
dari Finch dan Crunkilton, 1984).
Substansi pelajaran pada pendidikan kejuruan menurut Nolker
dan Shoenfel (Sonhadji, 2006) harus selalu mengikuti perkembangan IPTEK,
kebutuhan masyarakat, kebutuhan individu, dan lapangan kerja. Lulusan dari
pendidikan kejuruan, minimal harus memiliki kecakapan atau kemampuan kerja yang
sesuai dengan tuntutan dunia usaha atau industri yang dirumuskan dalam standar
kompetensi nasional bidang keahlian.
2.
Tinjauan filosofis
Landasan filosofis yang mendasari
pendidikan kejuruan, harus mampu menjawab dua pertanyaan : 1) Apa yang harus
diajarkan ? dan 2) Bagaimana harus mengajarkan ? (Calhoun dan Finch, 1982).
Chalhoun dan Finch menegaskan bahwa sumber prinsip-prinsip fundamental
pendidikan kejuruan adalah individu dan perannya dalam suatu masyarakat
demokratik, serta peran pendidikan dalam transmisi standar sosial.
Secara filosofis, penyusunan
kurikulum SMK perlu mempertimbangkan perkembangan psikologis peserta didik dan
perkembangan atau kondisi sosial budaya masyarakat.
a. Perkembangan psikologis peserta
didik
Manusia, secara umum mengalami
perkembangan psikologis sesuai dengan pertambahan usia dan berbagai faktor
lainnya; yaitu latar belakang pendidikan, ekonomi keluarga, dan lingkungan
pergaulan, yang mengkibatkan perbedaan dalam dimensi fisik, intelektual,
emosional, dan spiritual. Pada kurun usia peserta didik di SMK, mereka memiliki
kecenderungan untuk mencari identitas atau jati diri.
Fondasi kejiwaan yang kuat
diperlukan peserta didik agar berani menghadapi, mampu beradaptasi dan
mengatasi berbagai masalah kehidupan, baik kehidupan profesional maupun
kehidupan keseharian, yang selalu berubah bentuk dan jenisnya serta
meningkatkan diri dengan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi.
b. Kondisi sosial budaya
Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan yang diterima
dari lingkungan keluarga (informal), diserap dari masyarakat (nonformal),
maupun yang diperoleh dari sekolah (formal) akan menyatu dalam diri peserta
didik, menjadi satu kesatuan yang utuh, saling mengisi dan diharapkan dapat
saling memperkaya secara positif.
Peserta didik SMK berasal dari
anggota berbagai lingkungan msyarakat yang memiliki budaya, tata nilai, dan
kondisi sosial yang berbeda. Pendidikan kejuruan mempertimbangkan kondisi
sosial, maka segala upaya yang dilakukan harus selalu berpegang teguh pada
keharmonisan hubungan antar sesama individu dalam masyarakat luas yang
dilandasi dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur, serta keharmonisan antar
sistem pendidikan dengan sosial budaya.
B. Kurikulum SMK Program Keahlian
Tata Busana
1.
Tujuan program keahlian Tata Busana
Tujuan program keahlian Tata Busana
secara umum mengacu pada isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN)
pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang
menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Secara spesifik tujuan program keahlian Tata Busana adalah membekali peserta
didik dengan keterampilan, pengetahuan, dan sikap agar kompeten dalam :
a.
Mengukur, membuat pola, menjahit dan menyelesaikan busana
b.
Memilih bahan tekstil dan bahan pembantu secara tepat
c.
Menggambar macam-macam busana sesuai kesempatan
d.
Menghias busana sesuai desain
e.
Mengelola usaha di bidang busana
(Disarikan
dari Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana, 2004).
2.
Isi Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana
Di dalam penyusunan kurikulum atau substansi pembelajaran
SMK program kehalian Tata Busana; mata pelajaran dibagi ke dalam tiga kelompok,
yaitu : kelompok normatif, adaptif dan produktif.
Kelompok normatif adalah mata pelajaran yang berfungsi
membentuk peesrta didik menjadi pribadi yang utuh, pribadi yang memiliki
norma-norma kehidupan sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial (anggota
masyarakat), sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai warga nagara dunia.
Dalam kelompok normatif, mata pelajaran dialokasikan secara tetap meliputi :
1) Pendidikan Agama
2) Pendidikan Kewarganegaraan
3) Bahasa Indonesia
4) Pendidikan Jasmani Olahraga dan
Kesehatan
5) Seni Budaya.
Kelompok adaptif adalah mata pelajaran yang berfungsi
membentuk peserta didik sebagai individu agar memiliki dasar pengetahuan yang
luas dan kuat untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Kelompok
adaptif terdiri atas mata pelajaran :
1)
Bahasa Inggris
2) Matematika
3) IPA
4) IPS
5) Keterampilan Komputer dan
Pengelolaan Informasi
6) Kewirausahaan.
Kelompok produktif adalah kelompok mata diklat yang berfungsi
membekali peserta didik agar memiliki kompetensi kerja sesuai Standar
Kompetensi Nasional (SKN). Kelompok produktif program keahlian Tata Busana
terdiri dari kompetensi :
1)
Memberikan pelayanan prima
2)
Melakukan pekerjaan dalam lingkungan sosial
3)
Mengikuti prosedur K3
4)
Mengukut tubuh
5)
Menggambar busana
6)
Memilih/membeli bahan baku busana
7)
Membuat pola busana teknik konstruksi
8)
Melakukan pengepresan
9)
Menjahit dengan mesin
10)
Menyelesaikan busana dengan jahitan tangan
11)
Membuat hiasan busana
12)
Melakukan penyelesaian akhir busana
13)
Memelihara alat jahit
14)
Memotong bahan
15)
Membuat pola busana konstruksi di atas kain
16)
Membuat pola busana teknik kombinasi
17)
Membuat pola dasar teknik drapping
Dari kompetensi di atas, sebagai mata
diklat pada kelompok produktif (Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana,
2004), kemudian dirinci menjadi sub-sub kompetensi sebagai berikut :
Level Kualifikasi
|
Kompetensi
|
Sub Kompetensi
|
Operator jahit (penjahit)
|
Memberikan layanan secara prima
kepada pelanggan (Customer care)
|
· Melakukan komunikasi di tempat kerja
· Memberikan bantuan untuk pelanggan internal
dan eksternal
· Menjaga standar prestasi personal
· Melakukan pekerjaan secara rutin
|
Melakukan pekerjaan dalam
lingkungan sosial yang beragam (Customer
care)
|
· Melakukan komunikasi dengan pelanggan dan
kolega dari latar belakang yang berbeda
· Menangani kesalah fahaman antar budaya
|
|
Mengikuti prosedur kesehatan,
keselamatan dan keamanan dalam bekerja
|
· Mengikuti prosedur tempat kerja dan
memberikan umpan balik tentang kesehatan, keselamatan dan keamanan
· Menangani situasi darurat
· Menjaga standar presentasi perorangan yang
aman
|
|
Mengukur tubuh pelanggan sesuai
dengan desain (Pattern Making)
|
· Menganalisis desain
· Menganalisis bentuk tubuh
· Mengukur
|
|
Menggambar busana (Fashion drawing)
|
· Menyiapkan tempat kerja (meja, alat dan
lain-lain
· Menggambar busana
· Menyelesaikan gambar busana
|
|
Memilih/membeli bahan baku busana
sesuai desain (material)
|
· Merencanakan persiapan dan waktu
pemilihan/pembelian bahan baku
· Mengidentifikasi jenis bahan utama (fashion fabric)
· Mengidentifikasi jenis bahan pelapis
· Menentukan bahan pelengkap
· Menyusun rencana belanja
· Menyediakan bahan utama dan pelengkap
|
|
Membuat pola busana sesuai dengan
teknik konstruksi (Pattern Making)
|
· Menggambar pola dasar
· Mengubah pola dasar sesuai desain
· Memeriksa pola
· Menggunting pola
· Melakukan uji coba pola
· Menyimpan pola
|
|
Level Kualifikasi
|
Kompetensi
|
Sub Kompetensi
|
Operator jahit (penjahit)
|
Melakukan pengepresan (pressing)
|
· Menyiapkan tempat dan alat press
· Mengerjakan pengepresan
· Menyerahkan pekerjaan pengepresan
· Menerapkan praktik keselamatan dan kesehatan
kerja
|
Menjahit dengan mesin (Sewing)
|
· Menyiapkan tempat kerja dan alat
· Menyiapkan mesin jahit
· Mengoperasikan mesin jahit
· Menjahit bagian-bagian busana
|
|
Menyelesaikan busana dengan
jahitan tangan (Embroidery)
|
· Menyiapkan tempat kerja dan alat
· Membuat desain hiasan busana
· Memindahkan desain hiasan pada busana/kain
· Mengemas busana/kain yang sudah dihias
· Menyimpan
|
|
Melakukan penyelesaian akhir
busana (Finishing)
|
· Menyeterika busana
· Mengemas busana
· Menyimpan
|
|
Memelihara alat jahit (Maintenance & Repair)
|
· Menyiapkan alat dan tempat kerja
· Memelihara dan memperbaiki alat jahit dan
alat Bantu jahit
|
|
Operator Potong (Tukang potong)
|
Memotong bahan (cutting)
|
· Menyiapkan tempat kerja (meja, alat dan
lain-lain)
· Menyiapkan bahan
· Meletakkan pola di atas bahan
· Memotong
· Memindahkan tanda-tanda pola pada bahan
· Mengemas
|
Operator Pola (Pembuat pola)
|
Membuat pola busana dengan teknik
konstruksi di atas kain (Pattern Making)
|
· Melakukan persiapan pembuatan pola di atas
kain/bahan
· Membuat pola di atas kain/bahan
· Memeriksa pola
|
Membuat pola busana dengan teknik
kombinasi (Pattern Making)
|
· Melakukan persiapan tempat dan alat
· Membuat pola dengan teknik kombinasi
· Memeriksa pola
· Menggunting pola
· Melakukan uji coba pola
· Menyimpan pola
|
|
Membuat pola dasar busana dengan
teknik drapping
|
· Melakukan persiapan drapping
· Memulir/drapping
bahan sesuai ukuran
· Menyelesaikan pola dasar drapping sesuai ukuran
· Menyimpan pola
|
3.
Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran ini berkaitan
dengan cara atau sistem penyampaian isi kurikulum dalam upaya pencapaian tujuan
yang telah dirumuskan. Keberhasilan aktivitas belajar peserta didik banyak
dipengaruhi oleh strategi mengajar yang digunakan oleh guru.
Pendekatan pembelajaran yang
diterapkan di SMK adalah pembelajaran berbasis kompetensi. Pendekatan pembelajaran
ini harus menganut pembelajaran tuntas (mastery
learning) untuk dapat menguasai sikap (attitude),
ilmu pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skills) agar dapat
bekerja sesuai profesinya seperti yang dituntut suatu kompetensi. Untuk dapat
belajar secara tuntas, dikembangkan prinsip pembelajaran sebagai berikut :
a.
Learning by doing (belajar melalui
aktivitas/kegiatan nyata, yang memberikan pengalaman belajar bermakna),
dikembangkan menjadi pembelajaran berbasis produksi
b.
Individualized learning (pembelajaran
dengan memperhatikan keunikan setiap individu) dilaksanakan dengan sistem
modular.
4.
Evaluasi
Komponen evaluasi ini ditujukan
untuk menilai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan menilai proses
implementasi kurikulum secara keseluruhan termasuk juga menilai kegiatan
evaluasi itu sendiri. Hasil dari evaluasi ini dapat dijadikan umpan balik untuk
mengadakan perbaikan dan penyempurnaan pengembangan komponen-komponen
kurikulum. Pada akhirnya evaluasi ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi
penentuan kebijakan pengambilan keputusan kurikulum khususnya dan pendidikan
umumnya, baik bagi para pengembang kurikulum, para pemegang kebijakan pedidikan
maupun bagi para pelaksana kurikulum pada tingkat lembaga pendidikan atau
sekolah.
Evaluasi hasil belajar peserta didik
di SMK pada dasarnya merupakan bagian integral dari proses pembelajaran, yang
diarahkan untuk menilai kinerja peserta didik (memantau proses, kemajuan dan
perbaikan hasil belajar) secara berkesinambungan. Pelaksanaan penilaian dapat
dilakukan secara langsung pada saat peserta didik melakukan aktivitas belajar,
maupun secara tidak langsung melalui bukti hasil belajar sesuai dengan kriteria
kinerja (performance criteria). Oleh
karena itu sistem penilaian untuk program produktif menitikberatkan pada
penilaian hasil belajar berbasis kompetensi (competency based assessment).
C. Model Konsep Kurikulum SMK
Program Keahlian Tata Busana
Model konsep kurikulum yang dapat
dijadikan dasar di dalam pengembangan kurikulum terdiri dari empat model.
Sesuai dengan yang dikemukakan Syaodih (2001), yaitu : Model konsep kurikulum
dari teori pendidikan klasik disebut kurikulum subjek akademis, pendidikan
pribadi disebut kurikulum humanistik, teknologi pendidikan disebut kurikulum
teknologis dan pendidikan interaksionis disebut kurikulum rekonstruksi sosial.
Kurikulum subjek akademis bersumber
dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada
masa lalu. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan, sehingga belajar menekankan
untuk berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Dalam model konsep kurikulum
ini, pendidikan berfungsi untuk memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya
masa lalu. Dalam perkembangan kurikulum Subjek Akademis terdapat tiga
pendekatan, yaitu : Pendekatan pertama, melanjutkan pendekatan struktur
pengetahuan. Pendekatan kedua, adalah studi yang bersifat integratif.
Pendekatan ketiga, adalah pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah
fundamentalis.
Kurikulum humanistik dikembangkan
oleh para ahli pendidikan humanistik, berdasarkan konsep aliran pendidikan
pribadi (personalized education) oleh
Dewey (Progressive Education) dan
oleh Rousseau (Romantic Education).
Para ahli pendidikan humanistik bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa
adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan, sehingga kurikulum humanistik
lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Siswa dipandang sebagai subjek yang
menjadi pusat kegiatan pendidikan, siswa memiliki potensi, kemampuan dan
kekuatan untuk berkembang.
Kurikulum rekonstruksi sosial lebih
memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat,
karena tujuan utama dari kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para
siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan yang dihadapi
manusia.
Kurikulum teknologis ada
persamaannya dengan aliran pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum,
tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan pengawetan ilmu tetapi pada
penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi
yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit atau khusus dan
akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati dan diukur.
Dari penjelasan keempat model konsep
kurikulum di atas, maka dapat dikategorikan bahwa kurikulum pendidikan kejuruan
diantaranya Kurikulum SMK program keahlian Tata Busana menganut model konsep
kurikulum teknologis. Karena apabila dikaji dari tujuan, isi kurikulum,
strategi pembelajaran dan evaluasi yang dilaksanakan di SMK program keahlian
Tata Busana sejalan dengan ciri-ciri kurikulum yang dikembangkan dari konsep
teknologi pendidikan (Syaodih, 2001), sebagai berikut :
1. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang
dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi
dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, yang disebut objektif (tujuan
instruksional). Objektif ini menggambarkan perilaku, perbuatan atau
kecakapan-keterampilan yang dapat diamati atau diukur.
2. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering
dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan
dan apabila terjadi respon yang diharapkan, maka respons tersebut diperkuat.
3. Bahan ajar atau kurikulum banyak diambil dari disiplin
ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan sesuatu
kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi
bagian-bagian atau sub kompetensi yang lebih kecil, yang menggambarkan
objektif. Urutan dari objektif ini pada dasarnya menjadi inti organisasi bahan
4. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir
suatu pelajaran, suatu unit ataupun semester. Fungsi evaluasi ini
bermacam-macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan
suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir
suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik
bagi guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi, menunjukkan bahwa pendidikan kejuruan senantiasa berupaya melakukan
penyesuaian terhadap perkembangan jaman. Untuk lebih jelasnya, perubahan
orientasi kurikulum pendidikan kejuruan dapat ditampilkan pada tabel berikut.
Kurikulum
|
Orientasi
|
1964
STM
1968
SMEA
|
Pendekatan kebutuhan masyarakat
akan pendidikan (social demand approach)
: 1) bertujuan agar siswa dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi sekaligus dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja, 2) lebih
berorientasi pada isi (subject matter),
3) dokumen kurikulum hanya berbentuk struktur program, dan 4) bobot praktik
kejuruan berkisar antara 5 – 20 % dari keseluruhan program pendidikan.
|
1972 STM
Pembangunan,
1973 SMEA
Pembina
|
Pendekatan kebutuhan tenaga kerja
(manpower demand approach)
dilaksanakan secara terbatas, proses mencari bentuk yang tepat untuk
pendidikan teknisi industri. Kurikulum 1964 dan 1968 masih diberlakukan
|
1976
|
Pendekatan kebutuhan tenaga kerja
(untuk sekolah yang belum memperoleh peralatan praktik), mempunyai ciri : 1)
bertujuan untuk menyiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja (program
terminal), 2) lebih berorientasi pada hasil, 3) lebih menekankan pada CBSA,
4) bobot praktik kejuruan berkisar 40 – 50 % dari keseluruhan program
pendidikan, 5) Teori kejuruan terpisah dari praktik kejuruan.
|
1984
|
Pendekatan humaniora yang
memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor; teori dan praktik dikemas
dalam satu semester; pihak industri terlibat dalam Forum Pendidikan Kejuruan.
Berorientasi pada keterampilan proses, menyiapkan lulusan untuk bekerja tapi
diberi kebebasan untuk melanjutkan, dapat pindah jurusan/program studi, siswa
berpeluang mendapat kredit maksimal. Teori kejuruan diintegrasikan ke dalam
praktik kejuruan dan menggunakan sistem kredit.
|
1994
|
Pendekatan kurikulum berbasis
kompetensi (competence-base curriculum),
luas, kuat dan mendasar (broad-based
curriculum). Berorientasi pada kebutuhan dunia kerja dan validasi
dilakukan bersama-sama dengan dunia kerja untuk mengetahui keterampilan yang
diperlukan (aktif). Menerapkan sistem unit produksi dan institusi pasangan
(PSG).
|
Kurikulum
|
Orientasi
|
1999
|
Perubahan orientasi dari supply-driven ke demand/market-driven, dari mata pelajaran/topik pembelajaran ke
kompetensi, dari pengukuran tingkat hasil belajar ke pengukuran kompetensi,
dari belajar “hanya” di SMK menjadi belajar di SMK dan di industri, dari SMK
yang “berdiri sendiri” ke SMK sebagai bagian tak terpisahkan dari Politeknik,
BLK, kursus-kursus, dan lembaga Diklat lainnya. Perubahan ke arah ini telah
dimulai.
|
2004
|
Pemenuhan permintaan pasar,
rancangan pendekatan pengembangannya dengan menerapkan : pendekatan akademik,
pendekatan kecakapan hidup (life skill),
kurikulum berbasis kompetensi (Competency
Based Curriculum), kurikulum berbasis luas dan mendasar (Broad Based Curriculum)
|
D. Model Pengembangan Kurikulum SMK
Program Keahlian Tata Busana
Kurikulum termasuk di dalamnya
rancangan program pembelajaran/diklat untuk dapat diimplementasikan di
lapangan, perlu dirancang selaras dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan
khususnya dunia kerja (dunia usaha dan industri). Proses penyelarasan kurikulum
sebenarnya merupakan tahapan penentuan model pengembangan kurikulum yang harus
sesuai dengan kebutuhan dan tututan IPTEKS.
Kurikulum yang dberlakukan pada SMK
program keahlian Tata Busana saat ini adalah kurikulum tahun 2006 untuk
kelompok normatif dan adaptif, sedangkan khusus untuk kelompok produktif masih
menggunakan kurikulum tahun 2004 yang dikembangkan oleh sekolah
(desentralisasi) dengan mengacu pada Standar Kompetensi Nasional Bidang
Keahlian Tata Busana. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model
pengembangan kurikulum SMK adalah grass
roots model, karena dalam penyelarasan KTSP SMK diterapkan kolaborasi
dengan dunia usaha/industri dan komite sekolah khususnya dalam menyepakati
rumusan-rumusan kurikulum yang siap diimplementasikan.
Dalam model pengembangan kurikulum
yang bersifat grass roots; seorang
guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya
pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan
dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun
seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah
memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun
bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass roots akan lebih baik. Kondisi ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan penyempurna dari
pengajaran di kelas.
Strategi penerapan model grass roots perlu dipertimbangkan
khususnya dalam pengembangan kurikulum program produktif di SMK, karena panduan
pengembangan KTSP yang dirumuskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
untuk kurikulum SMK baru memuat pengembangan kelompok normatif dan adaptif.
Sedangkan untuk program produktif diserahkan kepada satuan pendidikan, yang harus
disesuaikan dengan karakteristik program keahlian dan potensi dunia
usaha.industri yang menjadi institusi pasangan di lapangan dalam kegiatan
pembelajaran di dunia kerja (pelatihan berbasis industri). Mulyasa (2006)
mengungkapkan bahwa KTSP perlu diterapkan oleh setiap satuan pendidikan,
terutama berkaitan dengan aspek-aspek sebagai berikut :
1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
yang tersedia untuk memajukan lembaganya
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya
input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses
pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih
cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu
apa yang terbaik bagi sekolahnya
4. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam
pengembangan kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta
lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat
5. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan
masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada
umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan
mencapai sasaran KTSP.
6. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan
sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya
inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat dan pemerintah
daerah setempat
7. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat
dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasinya dalam KTSP.
E. Model dan Pendekatan Pembelajaran
Keahlian Tata Busana di SMK
1.
Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang dapat
dikembangkan di SMK dapat dipilih dari rumpun yang berhubungan dengan perilaku
(behavioral), karena di SMK pada
intinya mendasarkan pada teori pembelajaran behaviorism.
Teori ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar, yang menjadi prinsip dalam pembelajaran keahlian Tata Busana di SMK.
Model mengajar dari rumpun sistem tingkah laku (the behavioral systems family of models, Joyce : 2000) yang dapat
diterapkan di SMK diantaranya adalah belajar tuntas.
Belajar tuntas merupakan suatu
kerangka dalam merencanakan pembelajaran yang berurutan, dirumuskan oleh John
B. Carroll (1971) dan Benyamin Bloom (1971). Belajar tuntas disajikan secara
ringkas dan menarik untuk meningkatkan pencapaian hasil belajar (kinerja)
peserta didik. Secara tradisional, kecerdasan dianggap sebagai karakter yang
berhubungan dengan hasil belajar peserta didik. Carroll memandang kecerdasan
sebagai sejumlah waktu yang digunakan seseorang untuk belajar dibanding kapasitasnya
untuk menguasai bahan ajar. Dalam pandangan Carroll, peserta didik yang
mempunyai penguasaan bahan ajar dibanding dengan peserta didik yang mempunyai
kecerdasan lebih tinggi.
Bloom mengubah pandangan Carroll ke
dalam sebuah sistem dengan mengikuti karakteristik :
a. Penguasaan didefinisikan dalam istilah pencapaian tujuan
utama dalam pembelajaran
b. Materi ajar dibagi dalam unit terkecil yang akan
dipelajari
c. Penentuan materi ajar dan pemilihan startegi pembelajaran
d. Setiap unit disertai dengan tes diagnostik untuk mengukur
kemajuan peserta didik (evaluasi formatif) dan menentukan masalah yang dihadapi
masing-masing peserta didik.
e. Hasil tes digunakan untuk memberikan pengajaran pengayaan
dan remedial
Belajar tuntas menurut pembelajaran
individual, peserta didik bekerja bebas dengan bahan ajar yang diberikan setiap
hari (setiap beberapa hari), tergantung pada kemampuan dan gaya belajarnya.
Model belajar tuntas yang dapat diterapkan pada pembelajaran di SMK adalah Individually Prescribed Instructional
Program (IPI). Tujuan dari IPI adalah :
1) Memungkinkan setiap peserta didik untuk mempelajari unit
bahan ajar yang berurutan
2) Menjadikan setiap peserta didik mencapai derajat
penguasaan
3) Mengembangkan inisiatif sendiri dalam belajar
4) Mengembangkan proses problem
solving
5) Mendorong evaluasi diri dan motivasi untuk belajar
Belajar tuntas dapat diterapkan pada
pembelajaran di SMK, karena merupakan strategi pembelajaran terstruktur yang
bertujuan untuk mengadaptasikan pembelajaran kepada peserta diantara peserta
didik. Belajar tuntas dirancang mampu mengatasi kelemahan-kelemahan yang sering
melekat pada pembelajaran klasikal, antara lain hanya peserta didik yang pandai
yang akan mencapai semua tujuan pembelajaran, sedangkan peserta didik yang kurang
pandai hanya mencapai sebagian dari tujuan instruksional. Belajar tuntas juga
dirancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai
pelajaran dan kompetensi yang dipelajarinya sesuai dengan standar, melalui
langkah-langkah pembelajaran secara bertahap, utuh, dan tuntas; sehingga
memberikan pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning).
Organisasi pembelajaran tuntas
dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
a) Ditetapkan batas minimal tingkat kompetensi yang harus
dikuasai oleh peserta didik
b) Menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan (PAP)
untuk menilai keberhasilan belajar peserta didik mencapai standar minimal
c) Peserta didik tidak diperkenankan pindah topik atau
pekerjaan berikutnya, apabila topik atau pekerjaan yang sedang dipelajarinya
belum dikuasai sampai standar minimal
d) Memberikan kemampuan yang utuh, mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan sikap
e) Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk
mencapai standar minimal, sesuai dengan irama dan kemampuan belajarnya
masing-masing
f) Disediakan program remedial bagi peserta didik yang
lambat, dan program pengayaan bagi peserta didik yang lebih cepat menguasai
kompetensi
Penerapan model belajar tuntas pada
keahlian Tata Busana di SMK; diperlukan kemampuan dan kreativitas guru di dalam
mengkemas kegiatan pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah
(industri) sesuai dengan tuntutan standar dunia kerja.
2.
Pendekatan pembelajaran
Dalam upaya penerapan model belajar tuntas pada pembelajaran
keahlian Tata Busana di SMK, dapat digunakan berbagai pendekatan sebagai
berikut :
a. Pelatihan Berbasis Kompetensi
(Competency Based Training)
Pelatihan berbasis kompetensi
merupakan proses pengajaran yang perencanaan, pelaksanaan dan penilaiannya mengacu
kepada penguasaan kompetensi peserta didik. Tujuan dari pendekatan ini adalah
agar kegiatan yang dilakukan dalam proses pengajaran benar-benar mengacu dan
mengarahkan peserta didik untuk mencapai penguasaan kompetensi yang telah
diprogramkan bersama antara sekolah dengan dunia usaha dan dunia industri.
Dengan pendekatan pelatihan berbasis
kompetensi ini, pembelajaran pada intinya berisi seperangkat kompetensi yang
perlu dimiliki peserta didik melalui proses kegiatan pembelajaran yang memiliki
ciri sebagai berikut :
1)
Kegiatan pembelajaran adalah penguasaan kompetensi oleh peserta didik
2) Proses pembelajaran harus memiliki kesepadanan dengan
kondisi dimana kompetensi tersebut akan digunakan
3) Aktivitas pembelajaran bersifat perseorangan (individualized instruction), antara satu
peserta didik dengan peserta didik lainnya tidak ada ketergantungan
4) Harus tersedia program pengayaan (enrichment) bagi peserta didik yang lebih cepat dan program
perbaikan (remedial) bagi peserta
didik yang lebih lamban
Strategi pembelajaran ini menekankan
penguasaan kompetensi sesuai standar yang ditentukan, melalui kegiatan
pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan secara terstruktur serta berfokus
pada peserta didik (learner focused)
melalui penyelesaian tugas/kompetensi (task
focused) secara bertahap. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan
pembelajaran dengan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a) Kurikulum harus dikembangkan mengacu kepada standar
kompetensi yang ditetapkan oleh industri/asosiasi profesi, dan memuat isi yang
menunjang pencapaian kompetensi
b) Modul/bahan ajar harus dikembangkan berdasarkan kurikulum
dan standar kompetensi, serta mampu memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk mengikuti program sesuai dengan tingkat kecepatan yang dimilikinya
c) Guru atau instruktur harus memiliki kompetensi sesuai
dengan bidangnya
d) Peserta didik, telah memiliki pengetahuan dasar yang
memadai
e) Kegiatan diklat diorganisasi secara tepat agar dapat
dilaksanakan secara fleksibel dan memberikan perlakuan secara adil kepada
peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya
f) Fasilitas harus memadai untuk seluruh peserta didik, baik
dari sisi jenis, jumlah dan kualitas
g) Manajemen institusi perlu dikembangkan sesuai dengan
semangat pembaharuan
h) Biaya operasional diklat, memadai sesuai kebutuhan
operasional dalam pencapaian kompetensi peserta didik
b. Pelatihan Berbasis Produksi
(Production Based Training)
Pelatihan berbasis produksi adalah
proses pembelajaran keahlian atau keterampilan dirancang berdasarkan prosedur
dan standar bekerja yang sesungguhnya (real
job) untuk menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan tuntutan pasar atau
konsumen.
Tujuan dari pelatihan berbasis
produksi adalah :
1) Membekali peserta dengan kompetensi yang sepadan dengan
tuntutan dunia kerja, sekaligus menghasilkan produk/jasa yang laku dijual.
2) Menanamkan pengalaman produktif dan mengembangkan sikap
wirausaha, melalui pengalaman langsung memproduksi barang atau jasa yang berorientasi
pasar (konsumen)
Pelaksanaan pelatihan berbasis
produksi di SMK antara lain :
a) Pelatihan berbasis produksi dilaksanakan bekerja sama
dengan unit produksi atau institusi pasangan
b) Setiap peserta kelompok, dapat dibagi tugas sesuai dengan
jenis pekerjaan dan tingkat kompetensi masing-masing, tetapi tetap dalam
prosedur dan standar kerja yang menjamin ketepatan waktu dan mutu hasil
pekerjaan yang dituntut oleh konsumen. Jadi setiap peserta/kelompok peserta
tidak harus mengerjakan suatu produk/jasa secara keseluruhan
c) Keberhasilan pelatihan berbasis produksi harus didukung
oleh : Fasilitas yang siap pakai, Guru/instruktur yang memiliki profesionalisme
tinggi, Kesiapan bekerja yang tidak semata-mata bergantung kepada jam kerja
sekolah, Sikap menghargai kepada kualitas, dan Sikap komitmen kepada kualitas.
d) Hasil pembelajaran merupakan produk jadi yang layak jual
atau bagian-bagian produk (komponen) yang dapat dirakit menjadi produk yang
layak jual
Dengan kriteria pembelajaran
tersebut di atas, pada dasarnya desain yang lebih memungkinkan adalah
mengintegrasikan pelaksanaan pelatihan berbasis produksi dengan penyelenggaraan
unit produksi sekolah. Kondisi ini sejalan dengan tujuan penyelenggaraan unit
produksi, yaitu :
(1) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengerjakan praktik yang berorientasi pasar
(2) Mendorong peserta didik dan guru dalam pengembangan
wawasan ekonomi dan kewirausahaan
(3) Memperoleh tambahan dana untuk membantu mengatasi
kekurangan biaya operasional sekolah, terutama digunakan untuk perawatan dan
perbaikan fasilitas
(4) Meningkatkan pendayagunaan sumber daya pendidikan yang
ada di sekolah
(5) Meningkatkan kreativitas peserta didik dan guru
(6) Dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan peserta
didik, terutama menyangkut keterampilan yang diperlukan untuk mengerjakan
pesanan masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih cepat menyesuaikan diri
terhadap dunia kerja.
c. Pelatihan berbasis industri
(Pembelajaran di dunia kerja)
Pembelajaran di dunia kerja adalah
suatu strategi dimana setiap peserta mengalami proses belajar melalui bekerja
langsung (learning by doing) pada
pekerjaan yang sesungguhnya. Pelaksanaannya dinamakan Pendidikan Sistem Ganda
(PSG)/Praktek Industri sesuai dengan bidang keahlian yang dikembangkan. PSG
adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan
yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan
program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui bekerja langsung di dunia
kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Dalam pelaksanaan PSG, kedua belah
pihak secara sungguh-sungguh terlibat dan bertanggung jawab mulai dari tahap
peencanaan program, tahap penyelenggaraan, sampai pada tahap penilaian dan
penentuan kelulusan peserta didik, serta upaya pemasaran tamatannya. Mengingat
iklim kerja yang ada di sekolah berbeda dengan yang terjadi di dunia kerja,
maka sekolah harus benar-benar menyiapkan peserta sesuai dengan karakteristik
dan tuntutan dunia kerja tempat berlatih. Bukan hanya menyangkut dasar-dasar
kompetensi, tetapi juga menyangkut kesiapan fisik, mental, wawasan dan
orientasi kerja yang benar.
Pemahaman peraturan ketenagakerjaan
secara umum dan tertib (disiplin) pekerja di tempat mereka akan bekerja dan
orientasi tempat bekerja, termasuk pengenalan keselamatan kerja dan proses
produksi, melalui pendekatan pelatihan berbasis industri ini peserta diharapkan
:
1)
Mampu menyesuaikan diri dengan lingkkungan dunia kerja yang sesungguhnya
2) Memiliki tingkat kompetensi terstandar sesuai dengan yang
dipersyaratkan oleh dunia kerja
3) Menjadi tenaga kerja yang berwawasan mutu ekonomi,
bisnis, kewirausahaan dan produktif
Pelatihan berbasis industri pada
dasarnya memiliki nilai kebermaknaan lebih tinggi, terutama dalam memberikan
pengalaman secara langsung kepada peserta didik. Pelatihan berbasis industri
ini dapat memberikan pengalaman belajar dan bekerja bagi peserta didik sesuai
dengan dunia nyata pada dunia kerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki,
sehingga lulusan pendidikan kejuruan mampu bersaing untuk bekerja pada dunia
usaha atau industri sesuai dengan bidang keahlian yang dikuasainya.
BAB IV
IMPLEMENTASI KURIKULUM SMK PROGRAM KEAHLIAN TATA BUSANA
A. Laporan Hasil Implementasi Kurikulum
SMK Program Keahlian Tata Busana
Hasil implementasi kurikulum SMK
program keahlian Tata Busana yang dilaporkan ini merupakan hasil wawancara
dengan guru yang mengajar pada program keahlian Tata Busana dan hasil observasi
pada pembelajaran “Menjahit dengan mesin”.
1.
Hasil Wawancara
Laporan ini merupakan deskripsi dari
hasil wawancara dengan guru “Menjahit dengan mesin” (2 orang guru sebagai tim teaching), yang sudah berpengalaman
sebagai guru senior di salah satu SMK Program Keahlian Tata Busana di Kota
Bandung.
a. Profil sumber data
Guru 1; sebagai sumber data dalam
implementasi kurikulum SMK program keahlian Tata Busana pada mata diklat
“Menjahit dengan mesin”, menjadi guru SMK dengan bekal pendidikan Program D3
dari P3GK Rawamangun IKIP Jakarta. Pengalaman mengajar (guru 1) di SMK sudah 38
tahun. Selama menjadi guru di sekolah ini, beliau telah mengikuti pelatihan
Busana Industri dan Busana Tailoring. Pelatihan ini dalam upaya mengembangkan
keahlian guru di bidang pembuatan busana, khususnya untuk keahlian pembuatan
busana tailoring yang dapat diaplikasikan pada mata diklat yang dibinanya.
Guru 2; sebagai sumber data dalam
implementasi kurikulum SMK program keahlian Tata Busana pada mata diklat
“Menjahit dengan mesin”, menjadi guru SMK dengan bekal pendidikan Program D3
Jurusan PKK IKIP Jakarta. Pengalaman mengajar (guru 2) di SMK sudah 21 tahun.
Selama menjadi guru di sekolah ini, beliau telah mengikuti berbagai pelatihan,
diantaranya : Busana Tailoring, Garment, Keahlian Pola dan Kreativitas guru
SMK. Pelatihan ini dalam upaya mengembangkan keahlian guru di bidang pembuatan
busana tailoring dan teknik pembuatan busana sistem garment, dengan harapan
dapat diaplikasikan pada mata diklat yang dibinanya, dengan cara memberikan
pengalaman belajar kepada peserta didik sebagai bekal dalam kegiatan praktek
kerja industri.
b. Pemahaman guru tentang
implementasi kurikulum di SMK
Dalam kaitannya dengan implementasi
kurikulum SMK program keahlian Tata Busana, penulis melakukan wawancara dengan
dua orang guru “Menjahit dengan mesin” sebagai sumber data. Hasil wawancara
tersebut ditampilkan dalam bentuk paparan sebagai berikut.
Penulis : Bagaimana pemahaman ibu tentang implementasi
kurikulum di SMK, khususnya pada program keahlian Tata Busana ?
Guru : Sepengetahuan
saya kurikulum yang diimplementasikan di SMK saat ini belum secara penuh
menggunakan KTSP, karena untuk KTSP baru pada kelompok normatif dan adaptif.
Sedangkan untuk kelompok produktif masih menggunakan kurikulum 2004.
Penulis : Kalau masih menggunakan kurikulum 2004 untuk
program produktif, apakah ibu ditugaskan untuk menyusun silabus untuk mata
diklat “Menjahit dengan mesin” ?
Guru : Sebetulnya
kami di SMK ini, semua guru sudah ditugaskan untuk menyusunan silabus sesuai
dengan mata diklat binaannya. Yang saya ketahui, silabus yang sudah selesai
dibuat itu baru untuk mata pelajaran pada kelompok normatif dan adaptif.
Sedangkan untuk kelompok produktif belum selesai dibuat, khususnya saya sebagai
guru mata diklat “Menjahit dengan mesin”, karena masih menggunakan kurikulum
2004.
Penulis : Kalau silabus belum dibuat, lalu rencana
pengajaran apa yang ibu siapkan untuk pendidikan dan pelatihan “Menjahit dengan
mesin” ?
Guru : Untuk perencanaan pengajaran, kami masih
menggunakan modul yang baru rampung pada tahun 2006, karena pada waktu
diimplementasikan kurikulum 2004 pada tahun 2005 kami diwajibkan membuat modul.
Penulis : Dalam kegiatan pembelajaran di kelas untuk diklat
“Menjahit dengan mesin”, pendekatan pembelajaran apa yang ibu gunakan ?
Guru : Saya
menggunakan pendekatan CBT, pelatihan berbasis kompetensi
Penulis : Menurut
pemahaman ibu, mengapa harus CBT ?
Guru : Menurut saya
dalam belajar menjahit perlu dengan pendekatan CBT, karena menurut saya CBT
merupakan sistem pembelajaran tuntas. Peserta didik harus menyelesaikan
kompetensi yang harus dikuasai pada program produktif harus sesuai SKN. Kami
dalam pelaksanaan pembelajaran menjahit, menggunakan modul. Kami memberikan
penjelasan terlebih dahulu secara lisan, kemudian para siswa dapat mempelajari
materi pelajaran secara tertulis yang ada dalam modul.
Penulis : Bagaimana pelaksanaan evaluasi hasil belajar yang
ibu lakukan untuk mengukur keberhasilan peserta didik dalam menjahit yang
sesuai dengan SKN ?
Guru : Dalam
menilai kemampuan peserta didik, saya melakukan penilaian pada proses kerja dan
produk yang dihasilkan. Dilihat dari kerapihan, ketepatan teknik jahit,
kecepatan, kebersihan, kesesuaian dengan desain dan tampilan busana secara
keseluruhan.
Penulis : Menurut ibu, apakah fsilitas praktikum yang ada di
SMK ini sudah memadai ?
Guru : Menurut
saya belum, karena untuk piranti menjahit dan mesin jahit masih digunakan
secara bergantian, karena jumlahnya tidak mencukupi, masih terbatas.
2.
Hasil observasi
Pembelajaran “Menjahit dengan mesin”
dilaksanakan 6 jam/minggu pada satu hari kerja dari jam 07.00 sampai dengan jam
15.00 yang dikondisikan ruang praktek busana sebagai tempat bekerja atau usaha
busana. Hasil pengamatan terhadap proses kegiatan belajar mengajar “Menjahit
dengan mesin” yang dilaksanakan oleh 2 orang guru (Guru 1 dan Guru 2) di kelas
X Busana akan dideskripsikan sebagai berikut.
Penyajian materi pembelajaran teori
disajikan oleh satu orang guru secara bergantian sesuai dengan pokok bahasan
yang telah disepakati, sedangkan untuk praktikum dilaksanakan oleh dua orang
guru (team teaching). Penyajian
materi diawali dengan menuliskan pokok bahasan di papan tulis, kemudian
menjelaskan materi pelajaran secara sistematis sesuai dengan rencana pengajaran
dalam modul. Materi pelajaran teori yang dijelaskan mencakup : 1) Persiapan
mesin jahit sesuai prosedur, 2) Mengoperasikan mesin jahit sesuai prosedur, 3)
Langkah menjahit bagian-bagian busana, 4) Teknik menjahit busana dan 5) Sikap
kerja. Materi praktikum mencakup : penjelujuran yang kemudian dilanjutkan pada
tahap penjahitan dengan mesin.
Penyajian materi pembelajaran teori
dan praktek pembuatan busana wanita disajikan dengan menggunakan metode
ceramah, demonstrasi, Tanya jawab, pemberian tugas dan latihan. Pendekatan
klasikal dilakukan dalam menjelaskan materi teori dan penjelasan praktikum
secara umum, sedangkan untuk pendekatan individual dilakukan kepada peserta
didik yang mengalami kesulitan di dalam menjahit bagian-bagian busana.
Pada akhir kegiatan pembelajaran
teori mengenai pengetahuan menjahit dengan mesin, guru memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan. Guru menjawab pertanyaan yang
diajukan peserta didik dengan cara menjawab untuk seluruh kelas agar seluruh
peserta didik memperhatikan dan memahami kesulitan yang dihadapi dalam teknik
penjahitan bagian-bagian busana pada pembuatan busana wanita sesuai dengan
kesempatan.
Sebelum pelaksanaan praktek secara
individual guru membagikan bahan untuk pembuatan busana wanita sesuai dengan
kesempatan, yang terdiri dari : kain untuk bahan utama, kain furing dan bahan
pelengkap dalam pembuatan busana wanita sesuai dengan kesempatan. Guru terlebih
dahulu mendemonstrasikan langkah kerja dalam pembuatan busana kerja. Di samping
penjelasan dari guru, peserta didik diberi panduan dalam melakukan praktikum
berupa modul. Dalam penyajian materi pembelajaran “Menjahit dengan mesin”, guru
1 dan guru 2 menggunakan media pembelajaran berupa : 1) Contoh model desain
busana wanita untuk berbagai kesempatan, 2) Pragmen bagian-bagian busana yang
harus dijahit dan 3) Contoh beberapa model busana jadi berupa busana kerja dan
busana pesta.
Selama praktek berlangsung kedua
guru mengawasi dan membimbing peserta didik secara individual dengan cara
berkeliling. Saat ditemui peserta didik yang mengalami kesulitan dalam menjahit
bagian-bagian busana, guru mengarahkan dan membimbing peserta didik sampai
dapat menyelesaikan jahitan bagian busana. Apabila yang mengalami kesulitan
tersebut lebih dari dua orang, maka guru menjelaskan kembali kepada seluruh
kelas dengan harapan seluruh peserta didik dapat menyelesaikan jahitannya
dengan tepat dan cepat. Beberapa menit sebelum berakhir jam praktek, guru
menginstruksikan kepada seluruh peserta didik agar menghentikan kegiatannya dan
memberikan kesempatan untuk bertanya bila masih ada kesulitan. Guru memberikan
tugas kepada seluruh peserta didik untuk melanjutkan jahitannya di rumah agar
pekerjaannya segera dapat diselesaikan.
Penilaian yang dilakukan oleh guru,
yaitu saat kegiatan praktek berlangsung, karena pekerjaannya belum selesai
secara keseluruhan. Penilaian pada saat berlangsung praktek dilihat dari
langkah-langkah kerja pada setiap bagian busana yang harus diselesaikan, tetapi
pada saat melakukan penilaian guru tidak menggunakan alat penilaian yang baku.
Sedangkan untuk penilaian produk busana, guru sudah menggunakan alat penilaian
yang memuat aspek-aspek yang harus dinilai, yaitu : kecepatan, ketepatan,
teknik jahit, kerapihan, kebersihan, dan tampilan busana keselruhan.
B. Pembahasan terhadap Implementasi
Kurikulum SMK Program Keahlian Tata Busana pada Mata Diklat Menjahit dengan
Mesin
Kurikulum yang saat ini diberlakukan
di SMK program keahlian Tata Busana adalah kurikulum tahun 2004 (khusus untuk
program produktif) dan model pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) 2006 (untuk program normatif dan adaptif). Di samping kurikulum, pada
SMK program keahlian Tata Busana adanya kebijakan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik sesuai dengan Standar Kompetensi Nasional (SKN) bidang keahlian
Tata Busana.
Dalam dokumen kurikulum tahun 2004,
untuk program produktif diungkapkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran harus
mengandung prinsip pembelajaran tuntas (mastery
learning), karena keberhasilan belajar peserta didik ditetapkan oleh
tingkat penguasaan kompetensi yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja (dunia
usaha dan dunia industri). Upaya yang harus dilakukan dalam pencapaian tujuan
di atas, keberadaan kurikulum dalam pengertian kurikulum sebagai dokumen
tertulis, kurikulum sebagai kegiatan, dan kurikulum sebagai gambaran
keberhasilan belajar; sangat tergantung kepada kemampuan guru di dalam memahami
kurikulum tersebut.
1.
Analisis terhadap hasil wawancara dengan guru
Dari hasil wawancara dengan guru (team teaching) mata diklat “Menjahit
dengan mesin”, teramati bahwa guru belum sepenuhnya memiliki pemahaman dalam
kurikulum yang diimplementasikan di sekolah, karena guru baru pada tingkat
mengetahui apa yang harus dilaksanakan. Guru belum memiliki pemahaman tentang
KTSP, teramati dari lambatnya penyusunan salah satu perangkat kurikulum
khususnya pada penyusunan silabus untuk mata diklat yang dibinanya. Seharusnya
guru di samping menggunakan modul yang sudah ada, harus secara kreatif
dilengkapi dengan silabus yang baru sesuai dengan tuntutan KTSP SMK dan Standar
Kompetensi Nasional Bidang Keahlian.
2.
Analisis terhadap hasil observasi pada pendidikan dan pelatihan “Menjahit
dengan Mesin”
Kajian implementasi kurikulum SMK program keahlian Tata
Busana pada mata diklat “Menjahit dengan mesin” dapat dilakukan terhadap
dokumen tertulis dan kegiatan pembelajaran sebagai hasil pengamatan lasung.
Kajian dilakukan dengan mengevaluasi empat komponen kurikulum, yaitu : tujuan,
isi kurikulum (materi pelajaran), strategi pengajaran, dan evaluasi.
a. Tujuan
Tujuan yang dirumuskan untuk mata
diklat “Menjahit dengan mesin” dalam rencana pembelajaran belum jelas dan sulit
untuk diukur. Khusunya rumusan tujun pada aspek pengetahuan, masih belum
operasional sehingga sulit untuk mengukur kemampuan peserta didik di dalam
penguasaan pengetahuan tentang menjahit dengan mesin. Tujuan pembelajaran
seharusnya dirancang sampai pada tingkat operasional, sehingga tujuan tersebut
dapat terukur sampai tingkat keberhasilannya. Pengkajian terhadap rumusan
tujuan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
MATA
|
TUJUAN
|
||
DIKLAT
|
SIKAP
|
PENGETAHUAN
|
KETERAMPILAN
|
Menjahit dengan mesin
|
· Menyiapkan
alat jahit dengan cermat dan teliti
· Mesin
jahit dipersiapkan dengan teliti dan benar
· Teliti
dan berhati-hati dalam mengoperasikan mesin jahit
· Teliti
dalam memeriksa kelengkapan bagian-bagian busana
· Mengikuti
prosedur dan teknik menjahit dalam menjahit bagian-bagian busana
· Mengikuti
prosedur keselamatan kerja dalam menjahit busana
|
· Memahami
fungsi alat jahit pokok dan alat bantunya
· Memahami
langkah kerja menyiapkan mesin jahit
· Memahami
prosedur pengoperasian mesin jahit
· Memahami
cara mengatur setikan mesin jahit sesuai jenis bahan
· Memahami
bagian-bagian busana
· Memahami
prosedur menjahit bagian-bagian busana
· Memahami
teknik menjahit busana
· Memahami
kesehatan dan keselamatan kerja dalam menjahit
|
· Menyiapkan alat jahit sesuai
kebuuthan
· Mengisi kumparan, mengatur
tegangan benang, mengatur jarak setikan mesin jahit, memasang jarum, memasang
kumparan dan skoci, memasang benang
· Mengoperasikan mesin jahit pada
garis lurus, lengkung, sudut dan lain-lain
· Mengatur setikan mesin jahit
sesuai dengan jenis bahan
· Memeriksa kelengkapan
bagian-bagian busana
· Menjahit bagian-bagian busana
sesuai prosedur
· Menyelesaikan busana sesuai dengan
teknik menjahit busana
· Menerapkan prosedur kesehatan dan
keselamatan kerja dalam menjahit
|
b. Isi kurikulum/materi pembelajaran
Materi pembelajaran yang disajikan
meliputi materi teori dan praktek. Materi sudah sesuai denga tuntutan dari
kurikulum dan Standar Kompetensi Nasional. Materi pembelajaran disajikan secara
berkesinambungan dari mulai tugas praktek yang paling sederhana hingga materi
praktek lanjutan. Materi pembelajaran dikemas dalam bentuk modul yang menjadi
sumber belajar bagi peserta didik di dalam melakukan praktek menjahit dengan
mesin. Materi dalam modul dituangkan secara sistemtis, sehingga mudah dipahami
dan diikuti oleh peserta didik di dalam mengerjakan tugas sesuai prosedur.
c. Strategi pengajaran
Dalam kegiatan pembelajaran
“Menjahit dengan Mesin”, guru baru menerapkan pendekatan pelatihan berbasis
kompetensi (Competency Based Training).
Seharusnya di samping menerapkan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi,
dalam pembelajaran “Menjahit dengan Mesin” perlu diterapkan pendekatan
pelatihan berbasis produksi (Production
Based Training) melalui kerja sama dengan unit produksi sekolah. Dengan
pelatihan berbasis produksi ini, dalam upaya memberikan pengalaman belajar
kepada peserta didik di samping membuat produk, harus pula mengalami belajar
bagaiman mengelola suatu usaha busana (sanggar busana, modiste, atelier atau
butik).
d. Evaluasi
Penilaian hasil belajar yang
dilaksanakan oleh guru pada program produktif khususnya pada mata diklat
menjahit dengan mesin, teramati bahwa guru belum siap untuk melaksanakan
penilaian secara komprehensif pada keberhasilan belajar peserta didik, yang
meliputi : proses kerja, prestasi kemampuan kognitif, afektif, psikomotor dan
penilaian produk kerja. Guru dalam melakukan penilaian proses kerja atau
kegiatan praktikum cenderung mengandalkan pengamatan langsung tanpa menggunakan
alat penilaian, sedangkan untuk penilaian produk kerja telah menggunakan alat penilaian
berupa skala penilaian yang memuat aspek-aspek yang harus dinilai sesuai dengan
Standar Kompetensi Nasional (SKN). Seharusnya guru di dalam melakukan penilaian
baik untuk penilaian proses ataupun penilaian produk hendaknya menggunakan alat
penilaian yang baku, sehingga penilaian dapat diberikan secara objktif.
Sebagaimana dikemukakan oleh Gronlund (1977) mengemukakan bahwa jenis tes yang
paling sesuai untuk mengukur keterampilan praktek adalah dengan menggunakan tes
perbuatan, meliputi : 1) paper and pencil performance, 2) identification test,
3) simulated performance dan 4) work sample.
Faktor yang turut mempengaruhi
pelaksanaan pembelajaran program keahlian Tata Busana, di samping pengetahuan
guru dalam keahlian Tata Busana dan strategi pembelajaran; diantaranya
dipengaruhi pula oleh dukungan fasilitas belajar. Fasilitas belajar yang
dimiliki sekolah belum sepenuhnya menunjang terhadap pendidikan dan pelatihan
menjahit dengan mesin, karena jumlah peralatan yang tersedia tidak sesuai
dengan jumlah peserta didik yang melaksanakan praktium.
Kendala utama adalah keterbatasan fasilitas praktikum yang
tersedia di laboratorium Tata Busana. Piranti menjahit dan mesin jahit yang
tersedia di laboratorium berjumlah 2 buah, mesin obras, mesin lubang kancing dan
mesin juki terbatas sekali yaitu hanya ada 1 buah untuk setiap laboratorium,
sedangkan jumlah peserta didik yang harus melaksanakan praktikum untuk setiap
kelas rata-rata 35 orang. Piranti atau alat menjahit kecil seharusnya satu alat
digunakan untuk satu orang peserta didik. Upaya yang dilakukan guru dalam
mengatasi keterbatasan tersebut, melalui pembentukan kelompok kecil, dengan
pengaturan satu mesin jahit digunakan untuk dua orang peserta didik secara
bergantian.
BAB V
KESIMPULAN
Dari seluruh kajian yang berkaitan
dengan pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan dapat disimpulkan, bahwa
pendidikan kejuruan dikembangkan berdasar pada tuntutan dunia kerja, yaitu
dunia usaha dan dunia industri yang berkembang di masyarakat. Sebagai realisasi
di dalam memenuhi tuntutan dunia kerja tersebut, maka dalam perancangan
kurikulum pendidikan kejuruan mengacu pada karakteristik pendidikan kejuruan
yang seharusnya. Pendidikan menengah kejuruan memiliki peran untuk menyiapkan
peserta didik agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri (wiraswasta)
maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
sebagai salah satu institusi yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu
menghasilkan lulusan sebagaimana yang diharapkan dunia kerja. Tenaga kerja yang
dibutuhkan adalah sumber daya mansia yang memiliki kompetensi sesuai dengan
bidang pekerjaannya, memiliki daya adaptasi dan daya saing yang tinggi. Atas
dasar itu, pengembangan kurikulum dalam rangka penyempurnaan pendidikan
menengah kejuruan harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi berdampak pada perubahan tuntutan dunia kerja terhadap sumber daya
manusia yang dibutuhkan, oleh karena itu
pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan harus bisa mengakomodasi dan
mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu
memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik sesuai dengan standar
kompetensi dan tuntutan dunia usaha dan dunia industri.
Dalam kaitannya dengan implementasi
kurikulum SMK program keahlian Tata Busana, guru sebagai pelaksana kurikulum
cenderung sulit di dalam melakukan perubahan. Guru masih mengandalkan sumber
dan rencana pengajaran yang ada tanpa melakukan pengembangan yang dituntut oleh
KTSP SMK dan Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian. Di samping itu,
teramati bahwa guru belum siap dalam melakukan penilaian secara komprehensif di
dalam menentukan keberhasilan belajar peserta didik pada kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotor. Khusunya dalam menilai proses kerja,guru belum
menggunakan alat penilaian yang baku atau standar.
Keberhasilan pendidikan dan
pelatihan di SMK ditentukan dari kualitas lulusannya, dimana mereka harus
mencerminkan individu yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan bertanggung jawab. Lulusan SMK diharapkan mampu mengembangkan
seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga mereka memiliki kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotor untuk mampu bekerja sesuai dengan yang dipelajarinya.
Lulusan SMK harus mampu bersaing secara kompetitif, sehingga dapat memasuki
dunia kerja baik pada dunia usaha maupun industri pada tingkat nasional, bahkan
tidak menutup kemungkinan pada tingkat internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak,
I. dan Sanjaya, W. (1995). Media
Pendidikan (Suatu Pengantar). Bandung : Pusat Pelayanan dan Pengembangan
Media Pendidikan IKIP Bandung.
Arsyad,
A. (2004). Media Pembelajaran.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Blank,
W.E. (1982). Handbook For Developing
Competency Based Training Programs. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Block,
J.H. (1971). Mastery learning : Theory and Practice. New York : Holt. Rinehart
and Wiston. Inc.
Calhoun,
C.C. dan Finch, A.V. (1982). Vocational
Education : Concept and Operations. California : Wads Worth Publishing
Company.
Curtis,
T.E. dan Bidwell, W.W. (1976). Curriculum
and Instruction for Emerging Adolescents. New York : State University of
New York at Albany.
Departemen
Pendidikan Nasional. (2004). Kurikulum
Sekolah Menengah Kejuruan Program Keahlian Tata Busana. Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat
Jenderal Pendidikan Menengah Kejuruan (2002). Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia : Membangun Manusia
Produktif. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
-------
(2003). Standar Kompetensi Nasional
Bidang Keahlian Tata Busana. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Djohar,
A. (2003). Pengembangan Model Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah
Kejuruan. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Djojonegoro,
W. (1998). Pengembangan Sumber Daya
Manusia : Melalui Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Evarinayanti.
(2002). Pelatihan Berbasis Kompetensi
(Competency Based Training). Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Finch,
C. dan Crunkilton, J.R. (1984). Curriculum
Development in Vocational and Technical Education : Planning,Content and
Implementation. Boston : Allyn and Bacon, Inc.
Gronlund,
N.E. (1977). Constructing Achievement
Test. Englewood Ciffs : Prentice-Hall. Inc.
Hasan,
S.H. (1988). Evaluasi Kurikulum.
Jakarta : PPLPTK.
Ibrahim,
R. dan Sukmadinata, N.S. (1996). Perencanaan
Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Indonesia
Australia Partnership for Skills Development Program. (2001). Competency Based Training. West Java
Institutional Development Project.
Mulyasa,
E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22. Terdapat di [On line]
Rivai,
A. (1995). Competency Based Training
(Pelatihan Berdasarkan Kompetensi). Bandung : Technical Education
Development Centre.
Samsudi.
(2006). Pengembangan Model Pembelajaran
Program Produktif Sekolah Menengah Kejuruan (Studi Model Preskriptif dengan
Penerapan Learning Guide pada Program Keahlian Teknik Mekanik Otomotof).
Bandung : Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Sonhadji,
A. ( … ). Alternatif Penyempurnaan Pembaharuan Penyelenggaraan Pendidikan di
Sekolah Menengah Kejuruan. Terdapat di [On line]
http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/SENTRA1/F18.html
(3 Oktober 2006.
Sudjana,
N. dan Rivai, A. (1997). Media Pengajaran.
Bandung : CV. Sinar Baru.
Sukmadinata,
N.S. (2001). Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
(2001). Landasan
Psikologis Pengembangan Kurikulum. Bandung : Program Studi Pengembangan
Kurikulum Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
http://jhoeydhyn.blogspot.com/2011/11/makalah-pendidikan_04.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar