Selasa, 29 April 2014

PSIKOLOGI - ARTIKEL Sakit Jiwa Tak Selalu Terkait dengan Kejahatan



Banyak orang mengaitkan perilaku kejahatan atau kekerasan dengan gangguan jiwa. Tapi melalui studi tentang kejahatan yang dilakukan orang dengan gangguan mental, ternyata hanya 7.5 persen yang langsung terkait dengan gejala sakit jiwa.

Para peneliti menganalisis 429 kejahatan yang dilakukan 143 tersangka, dengan tiga jenis penyakit jiwa berbeda.

Mereka menemukan, dari keseluruhan tersangka, tiga persennya terkait dengan depresi besar, empat persen terkait schizoprenia, dan 10% mengacu pada penyakit bipolar.

“Saat kami mendengar tentang kejahatan yang dilakukan penderita sakit jiwa, hal tersebut menjadi berita besar dan masyarakat selalu mengaitkan hal tersebut, berulang-ulang.” Ujar pimpinan penelitian, Jillian Peterson, PhD.

“Mayoritas orang yang menderita sakit jiwa tidak bersifat kasar, tidak kriminal, dan berbahaya.”

Penelitian ini dilakukan bersama mantan terdakwa dari pengadilan jiwa di Minneapolis. Studi ini, yang juga dipublikasikan dalam jurnal APA, Law and Human Behavior, merupakan penelitian yang pertama kali menganalisis hubungan antara kejahatan dengan penyakit jiwa.

Studi ini tidak menemukan pola yang menghubungkan perilaku kriminal, dengan gangguan jiwa.

Hanya 2/3 dari tersangka yang melakukan kejahatan karena mengalami sakit jiwa, juga melakukan kejahatan dengan alasan yang berbeda, seperti kemiskinan dan pengangguran.

Peterson mempertanyakan, “apakah ada sekumpulan kecil orang dengan penyakit jiwa, melakukan kejahatan berulang-ulang, karena penyakitnya itu?”

Penelitian ini nantinya akan menjadi acuan untuk mengurangi residivis untuk para tersangka dengan penyakit kejiwaan.

Mereka akan diberi terapi kognitif, manajemen amarah, dan isu tingkah laku lainnya. Program ini sangat penting untuk mencegah para penderita setelah penahanan. 

Orang Mudah Bergosip dan Berbohong pada Siang Hari



 
Pagi adalah awal yang baru dan membawa perasaan optimistis pada diri kita. Belum ada urusan yang mengganggu kita pada pagi hari. Kita pun keluar rumah dengan penuh harapan dan bisa mencapai banyak target.

Kemudian pagi berganti siang. Tetapi, sejauh ini Anda belum bisa melakukan apa yang sudah direncanakan. Mood mulai berantakan dan kita jadi mudah marah. Rasa lelah pada siang hari juga membuat kita jadi kehilangan semangat dan ingin bersantai.

Sebuah studi mengenai psikologi bahkan menyebutkan, pada siang hari orang-orang cenderung lebih pemalas, gampang berbohong, dan senang bergosip.

"Sejak kita bangun pada pagi hari, rutinitas sehari-hari membutuhkan pengendalian diri. Sejak pagi kita sudah harus membuat keputusan; sarapan dengan menu apa, pergi naik apa, termasuk harus memikirkan kata-kata yang tepat kepada orang lain. Setiap orang mengatur dan mengendalikan keinginan mereka," kata Maryan Kouchaki dan Isaac Smith, peneliti bidang psikologi dari Universitas Harvard.

Ia menjelaskan, kesibukan harian yang padat sejak pagi bisa mengikis kemampuan seseorang untuk bersikap sesuai norma. "Dengan kata lain, seseorang lebih gampang untuk bersikap sopan dan baik, serta menahan godaan pada pagi hari dibanding pada waktu lain," katanya.

Penelitian juga menunjukkan, kemampuan mengendalikan diri cenderung berkurang pada siang hari. Selain itu, pada siang hari seseorang juga lebih mungkin untuk berbohong atau bergosip. 

Menyadari "kelemahan" manusia ini, tentu kita belajar untuk mengorganisasi kesibukan kita. Tugas-tugas yang sulit dan membutuhkan konsentrasi penuh sebaiknya diselesaikan pada pagi hari. Sementara tugas yang tidak terlalu sulit bisa dilakukan pada siang atau sore hari.