Kamis, 22 November 2012

makalah psikologi sosial prilaku prososial






PERILAKU PROSOSIAL

DISUSUN OLEH:
Kelompok
1. Akbar Robi Salam (10350006)

FAKULTAS USHULLUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
 2012



KATA PENGANTAR
Assalammu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kadang kala manusia dalam mengarungi bahtera hidupnya selalu menemui persoalan, misalnya menemui kesulitan ekonomi, kegagalan dalam mencapai tujuan, seringkali bermalas-malasan, kurang kewibawaan, kurang disukai orang banyak, bahkan kadang kala jiwa terancam. Untuk semua itu hendaklah di hadapi dengan penuh ketaqwaan
Dan tawakal kepada Allah, bukan di hadapi dengan jalan yang menyimpang dari ajaran agama.
Oleh sebab itu kami menyajikan makalah kami ini dengan harapan dapat membantu kawan-kawan, untuk mengetahui hubungan antara sholat dhuha  kaitan dengan motivasi belajar, fikiran, dan juga tingkah laku kita selama ini . 
Dan kami mengucapkan kepada teman-teman apabila dalam penyajian hasil observasi ini terdapat kekurangan atau kesalahan, kiranya teman-teman untuk memberikan kritik dan saran demi lebih sempurnanya laporan yang kami buat ini.  Terimakasih.
Wassalam Mualaikum Warohmatullahhi Wabarohkatuh
Palembang,      oktober 2012 

Akbar Robi Salam



BAB.I
PEMBAHASAN


A. Tingkah Laku Altruistik.
Perilaku prososial: tindakan yang menguntungkan orang lain tetapi tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi orang yang melakukan tindakan tersebut. Perilaku prososial kadang-kadang dapat melibatkan risiko di pihak orang yang memberikan bantuan. Istilah-istilah lain, seperti perilaku menolong, amal kebajikan, dan volunterisme juga digunakan untuk menggambarkan tentang hal-hal “baik” yang dilakukan orang untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang lain.
Istilah altruisme terkadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme yang yang sebenarnya adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Terdapat juga istilah bystander yang merupakan orang yang kebetulan ada di tempat kejadian dan turut menyaksikan kejadian itu.

B. Model Pengambilan Keputusan Untuk Membantu Orang Lain
1.      Menyadari Adanya Situasi Darurat.
Situasi darurat tidak dapat terjadi menurut jadwal, jadi tidak ada cara untuk mengantisipasi kapan, dimana masalah yang tidak diharapkan akan terjadi. Darley dan Batson menyatakan bahwa ketika seseorang dipenuhi rasa kekhawatiran-kekhawatiran pribadi, maka tingkah laku prososial cendrung tidak akan terjadi. Ketika bystander terlalu sibuk atas segala permasalahan pribadinya, maka bystander tersebut akan cendrung menjadi acuh tak acuh atau tidak dapat menyadari situasi darurat yang sedang terjadi di sekitarnya sehingga perilaku prososial atau altruisme tidak akan terjadi.
2. Menginterpretasikan Keadaan Sebagai Situasi Darurat.
Meskipun bystander memperhatikan apa yang terjadi di sekitarnya, namun bystander hanya memiliki informasi yang tidak lengkap dan terbatas mengenai apa yang kira-kira sedang dilakukan seseorang. Menurut Macrae & Milne, biasanya bystander akan lebih baik mengasumsikan informasi mengenai yang sedang terjadi dengan penjelasan yang bersifat rutin dan sehari-hari daripada yang sifatnya tidak biasa atau aneh.
Dengan adanya ketidaklengkapan dalam memiliki informasi yang jelas, kecendrungan bystander yang berada dalam sekelompok asing untuk menahan diri dan tidak dapat berbuat apa pun adalah sesuatu yan disebut sebagai pengabaian majemuk, dimana tidak ada orang yang tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi, masing-masing tergantung pada yang lain untuk memberi petunjuk.

3. Mengasumsikan Bahwa Adalah Tanggung Jawabnya untuk Menolong.
Ketika bystander memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu situasi darurat, tingkah laku prososial akan dilakukan hanya jika bystander tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong. Pada banyak keadaan, tanggung jawab memiliki kejelasan pada posisinya. Misalnya polisi adalah mereka yang harus melakukan sesuatu terhadap kejahatan.
4. Mengetahui Apa yang Harus Dilakukan.
Bystander yang sedang berada pada situasi darurat, harus mempertimbangkan apakah ia tahu tentang cara menolong orang yang berada pada situasi darurat tersebut. Pada umumnya sebagian situasi darurat mudah ditangani. Jika seorang bystander memiliki pengetahuan, pengalaman, atau kecakapan yang dibutuhkan, maka ia cenderung merasa bertanggung jawab dan akan memberikan bantuannya dengan atau tanpa kehadiran bystander lain.
5. Mengambil Keputusan Terkhir untuk Menolong.
Meskipun seorang bstander telah melewati keempat langkah sebelumnya dengan jawaban “iya”, perilaku menolong mungkin saja tidak akan terjadi kecuali mereka membuat keputusan akhir untuk bertindak. Pertolongan pada tahap akhir ini dapat dihambat oleh rasa takut terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial. Secara umum, perilaku menolong mungkin tidak akan muncul karena biaya potensialnya dinilai terlalu tinggi, kecuali jika orang memiliki motivasi yang luar biasa besar untuk membantu.

C. Pengaruh Pribadi Dalam Tingkah Laku Prososial
Terdapat faktor-faktor tambahan yang juga memiliki pengaruh pada kemungkinan bystander menolong atau tidak, yaitu:


1.      Menolong Orang yang Disukai.
Segala hal faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon prososial apabila individu tersebut memutuhkan pertolongan.
2.      Atribusi Menyangkut Tanggung Jawab Korban.
Pertolongan tidak diberikan secara otomatis ketika seorang bystander mengasumsikan bahwa “kejadian tersebut akibat kesalahan korban sendiri”, terutama jika penolong yang potensial cendrung mengasumsikan bahwa kebanyakan kesialan dapat dikontrol. Jika demikian, masalah dipersepsikan sebagai kesalahan korban.


3.      Model-Model Prososial: Kekuatan dari Contoh Positif.
Dalam situasi darurat, kita mengindikasikan bahwa keberadaan bystander lainnya yang tidak berespons dapat menghambat tingkah laku menolong. Hal yang juga sama benarnya adalah bahwa keberadaan bystander yang menolong memberi model sosial yang kuat dan hasilnya adalah suatu peningkatan dalam tingkah laku menolong di antara bystander lainnya. Disamping model prososial di dalam dunia nyata, model-model yang menolong dalam media juga berkontribusi pada pembentukan norma sosial yang mendukung tingkah laku prososial.

D. Pencarian dan Penerimaan Bantuan
Berdasarkan penelitian para ahli menunjukkan bahwa laki-laki lebih cendrung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesulitan, meskipun wanita pada semua umur mempunyai empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Misalnya saja banyak situasi darurat yang membutuhkan keterampilan, dan pengetahuan tertentu yang lebih banyak terdaat pada pria daripada wanita (mengganti ban kempes).
Meminta Pertolongan. Dengan adanya ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada situasi darurat dan ketidakpastian mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respon prososial bystander. Ambiguitas tersebut dapat menyebabkan penolong yang potensial untuk menahan diri dan menunggu kejelasan. Cara yang langsung dan paling efektif bagi seorang korban untuk mengurangi ambiguitas adalah untuk meminta pertolongan dengan jelas, misalnya “Tolong!” atau “Tolong telepon polisi!” dan sebagainya. Namun tampaknya jelas dan mudah untuk meminta pertolongan, tetapi mereka yang membutuhkan sering kali tidak dapat melakukannya karena berbagai alas an. Misalnya pria dan wanita yang pemalu enggan mencari pertolongan dari lawan jenis.
Menerima Pertolongan. Ketika diberikan pertolongan, seseorang sudah seharusnya bereaksi positif dan berterima kasih, tetapi sering kali reaksi orang tersebut tidak seperti itu. Seorang penerima pertolongan dapat merasakan reaksi negatif seperti tidak nyaman dan merasa tidak senang pada orang yang menolong.
Menerima pertolongan dapat menurunkan self-esteem seseorang, terutama jika penolon adalah teman atau seseorang yang sama dengan si penerima pertolongan dari segi usia, pendidikan, dan karakteristik lainnya. Pertolongan dari saudara juga dapat menjadi tidak menyenangkan, terutama yang berasal dari saudara yang lebih muda. Namun pertolongan dari seorang yang bukan saudara atau dari orang asing yang tidak mirip secara relatif tidak mengancam dan hasilnya jauh lebih positif.
Saat seseorang merespon secara negatif ketika menerima pertolongan, terdapat juga reaksi positif yang tidak terlalu terlihat. Ketika di tolong merupakan pengalaman yang sangat tidak menyenangkan sehingga orang tersebut ingin menghindari terlihat tidak kompeten lagi, kemudian ia termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas self-help di masa depan.

E. Menuju Masyarakat Prososial
Adapun karakteristik kepribadian bystander yang dapar mendorong tingkah laku prososial, yakni:
1. Empati. Individu yang menolong memiliki rasa empati yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong.
2. Komponen Kognitif
3. Kebutuhan untuk Disetujui
4. Kepercayaan Interpersonal. Individu yang memiliki kepercayaan interpersonal yang tinggi akan terlibat dalam lebih banyak tingkah laku prososial daripada individu yang tidak mempercayai orang lain.
5. Emosi yang Positif
6. Sosialibilitas dan Keramahan
7. Tidak Agresif
8. Percaya akan Dunia yang Adil. Individu yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik diberi imbalan (reward) dan tingkah laku yang buruk diberi hukuman (punishment).
9. Tanggung Jawab Sosial. Individu yang menolong mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan.
10. Locus Of Control Internal. Kepercayaan individual dimana individu dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk. Orang yang menolong mempunyai locus of control internal yang tinggi.
11. Tidak Adanya Egosentris. Individu yang menolong memiliki sifat egosentris yang rendah.
12. Generativitas atau Komitmen pada Diri Sendiri
13. Bukan Machiavellian, dimana individu tidak merujuk pada orang-orang yang dikarakteristikan oleh ketidakpercayaan, sinisme, egosentris, dan kecendrungan untuk memanipulasi orang lain. Orang yang Machiavellianism ini cendrung untuk tidak dapat menunjukkan perilaku prososial.
14. Kesediaan untuk Bertindak.














DAFTAR PUSTAKA









Rabu, 21 November 2012

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI




MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
DISUSUN OLEH:
Kelompok
Akbar Robi Salam     (10350006)


FAKULTAS USHULLUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
 2012








 




KATA PENGANTAR
Assalammu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kadang kala manusia dalam mengarungi bahtera hidupnya selalu menemui persoalan, misalnya menemui kesulitan ekonomi, kegagalan dalam mencapai tujuan, seringkali bermalas-malasan, kurang kewibawaan, kurang disukai orang banyak, bahkan kadang kala jiwa terancam. Untuk semua itu hendaklah di hadapi dengan penuh ketaqwaan
Dan tawakal kepada Allah, bukan di hadapi dengan jalan yang menyimpang dari ajaran agama.
Oleh sebab itu kami menyajikan makalah kami ini dengan harapan dapat membantu kawan-kawan, untuk mengetahui hubungan antara sholat dhuha  kaitan dengan motivasi belajar, fikiran, dan juga tingkah laku kita selama ini . 
Dan kami mengucapkan kepada teman-teman apabila dalam penyajian hasil observasi ini terdapat kekurangan atau kesalahan, kiranya teman-teman untuk memberikan kritik dan saran demi lebih sempurnanya laporan yang kami buat ini.  Terimakasih.
Wassalam Mualaikum Warohmatullahhi Wabarohkatuh
Palembang,      oktober 2012 

Akbar Robi Salam




BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai kita telah maklum bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu hasil penelitian yang sistematik atas fakta-fakta mengenai bidang0bidang tertentu.
Pada ahli sosiologi mempelajari struktur-struktur dan proses-proses kehidupan sebagai suatu keseluruhan, dan karenanya memerlukan suatu pendekatan yang berlainan dari pada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang dikaitkan dengan satu dan lain aspek kehidupan sosial yang terbatas.[1][1]
Kita tahu sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda, walau telah mengalami perkembangan yang cukup lama. Sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban, masyarakat manusia sebagai proses pergaulan hidup.[2][2]

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Sosiologi
Kata sosiologi pertama digunakan oleh Auguste Comte orang Prancis pada tahun 1838 dalam bukunya yang berjudul “Positive Philosophy” hingga Comte umumnya dianggap bapak sosiologi.
Seorang warga negara Prancis bernama Herbert Spencer pada tahun 1978 mengembangkan teori yang diberi nama “Evolusi Sosial” dimana setelah teori tersebut diterima masyarakat kemudian di tolak, namun sekarang diterima kembali dalam bentuk yang berbeda, Spencer menggunakan teori Darwin dalam masyarakat manusia.
Kemudian pada tahun 1883, seorang Amerika yang bernama Laster Word menerbitkan sebuah buku berjudul Dynamic Sociology didalam buku itu menganjurkan suatu kemajuan sosial melalui aksi sosial yang dibimbing oleh ahli sosiologi.
Pada tahun 1895 Emile Dukheim menerbitkan buku “Rules of Sociological Metodologi of Sociological method yang menguraikan metodologi tentang bunuh diri pada berbagai kelompok masyarakat atau penduduk memang Dukheim adalah salah satu pelapor terkemuka dalam mengembangkan sosiologi.
Max Weber 1864-1920 percaya bahwa metode-metode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam tidak bisa digunakan untuk menguji persoalan dalam ilmu sosial.
Pada tahun 1890-an mata pelajaran sosiologi mulai diberi diberbagai universitas. Pada tahun 1895 jurnal sosiologi Amerika mulai diterbitkan pada tahun 1909 didirikan American Sociological Industrialisasi.[3][3]

B.     Studi Sosiologi
Pentingnya kita mempelajari sosiologi karena dengan sosiologi kita bisa memperoleh suatu pandangan mengenai lingkungan sosial dan sekaligus bisa meneliti golongan atau masyarakat disekitar kita yang jarang atau bahkan tidak pernah kita kenal. Sasaran utama sosiologi adalah untuk meramalkan dan mengendalikan tingkah laku.

C.    Sosiologi dan Ilmu Pengetahuan Lainnya
Pada umumnya ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu cabang ilmu-ilmu alam ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu dan banyak dikaitkan dengan studi fenomena fisik sedangkan ilmu-ilmu sosial lebih merupakan study perilaku manusia dalam arti yang luas.

D.    Metode Penyelidikan Ilmiah.
Langkah-langkah penelitian kemasyarakatan berikut adalah:
1.      Perumusan hipotesa
2.      Kerangka Riset
3.      Pengumpulan Data
4.      Analisa Data
5.      Kesimpulan.[4][4]

E.     Pembagian-Pembagian Sosiologi
Ada enam bagian yang merupakan garis besar dalam sosiologi dan ada tiga tahapan studi sosiologi yakni:
Tahapan-tahapan tersebut adalah:
-          Sifat dasar manusia dan perkembangannya
-          Interaksi manusia dan hubungannya
-          Penyesuaian bersama dalam lingkungan
Adapun pembagiannya dalam sosiologi, yaitu:
1.      Mensosialisasikan individu
2.      Kelemahan-kelemahan sosial
3.      Kesukuan dan kultur
4.      Ekologi manusia
5.      Masalah-masalah sosial.
Sosiologi yang berasal dari kata Latin Socius yang berarti ”Kawan” dan kata Yunani logos yang berarti ”Kata” atau ”Berbicara”. Jadi sosiologi berarti ”Berbicara mengenai masyarakat”.
Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut:
1.      Sosiologi bersifat empiris
2.      Sosiologi bersifat teoritis
3.      Sosiologi bersifat kumulatif
4.      Sosiologi bersifat nonetis.[5][5]
Aguste Comte yang pertama memakai istilah sosiologi adalah orang pertama yang membedakan antara ruang lingkup dan isi sosiologi dari ruang lingkup dan isi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.[6][6]

F.     Hakikat Sosiologi
Sosiologi adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia. Jadi ilmu sosiologi adalah yang berusaha mencari tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang teratur dan dapat berulang. Secara konvensional dibedakan dua tipe penting sosiologi. Sosiologi makro dan sosiologi mikro. Sosiologi mikro menyelidiki berbagai pola fikiran dan perilaku muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil sebaliknya sosiologi makro mempersembahkan segala usahanya untuk mengkaji berbagai pola sosial berskala besar.
Dalam sosiologi kita memerlukan strategi teoritis dan teori. Strategi teoritis adalah serangkai konsep dan prinsip yang sangat abstrak sedangkan teori menyajikan aplikasi konsep dan prinsip ini kepada gejala tertentu.
Max Weber, mempercayai bahwa metode-metode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam yang tidak bisa digunakan untuk menguji persoalan dalam ilmu sosial.
Dalam sosiologi kita dapat mengenal mobilitas sosial yaitu dapat ditunjukkan pada perpindahan individu dari satu status sosial ke status sosial lainnya.
Dalam mempelajari sosiologi sasaran utama yang dicapai adalah untuk mengendalikan tingkah laku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.[7][7]

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Sosiologi pertama digunakan oleh Auguste Comte orang Prancis pada tahun 1838 dalam bukunya yang berjudul “Positive Philosophy” hingga Comte umumnya dianggap bapak sosiologi.
Ada enam bagian yang merupakan garis besar dalam sosiologi dan ada tiga tahapan studi sosiologi yakni:
Tahapan-tahapan tersebut adalah:
-          Sifat dasar manusia dan perkembangannya
-          Interaksi manusia dan hubungannya
-          Penyesuaian bersama dalam lingkungan
Adapun pembagiannya dalam sosiologi, yaitu:
1.      Mensosialisasikan individu
2.      Kelemahan-kelemahan sosial
3.      Kesukuan dan kultur
4.      Ekologi manusia
5.      Masalah-masalah sosial.





DAFTAR PUSTAKA

G. Kartasapoertra, Sosiologi Umum, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987

Soejana Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Bruce. J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rineka Cipta tahun 1992

Stephen, K. Sanderson, Sosiologi Makro, Jakarta: Rajawali 1993





[1][1] G. Kartasapoertra, Sosiologi Umum, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987, h.3

[2][2] Soejana Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h.2
[3][3] Bruce. J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rineka Cipta tahun 1992, h.27.
[4][4] Bruce. J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rineka Cipta tahun 1992, h.102
[5][5] Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h.30

[6][6] G. Karta Sapoertra, Sosiologi Umum, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987, h.5-6
[7][7] Stephen, K. Sanderson, Sosiologi Makro, Jakarta: Rajawali 1993, h.23