PERILAKU
PROSOSIAL
DISUSUN OLEH:
Kelompok
1. Akbar Robi Salam
(10350006)
FAKULTAS
USHULLUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
INSTITUTE
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2012
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaykum Warahmatullahi
Wabarakatuh
Kadang kala manusia dalam mengarungi bahtera hidupnya selalu
menemui persoalan, misalnya menemui kesulitan ekonomi, kegagalan dalam mencapai
tujuan, seringkali bermalas-malasan, kurang kewibawaan, kurang disukai orang
banyak, bahkan kadang kala jiwa terancam. Untuk semua itu hendaklah di hadapi
dengan penuh ketaqwaan
Dan tawakal kepada Allah, bukan di hadapi dengan jalan yang
menyimpang dari ajaran agama.
Oleh sebab itu kami menyajikan makalah kami ini dengan
harapan dapat membantu kawan-kawan, untuk mengetahui hubungan antara
sholat dhuha kaitan dengan motivasi belajar, fikiran, dan juga tingkah laku
kita selama ini .
Dan kami mengucapkan kepada teman-teman apabila dalam
penyajian hasil observasi ini terdapat kekurangan atau kesalahan, kiranya teman-teman
untuk memberikan kritik dan saran demi lebih sempurnanya laporan yang kami buat ini. Terimakasih.
Wassalam Mualaikum Warohmatullahhi
Wabarohkatuh
Palembang, oktober 2012
Akbar Robi Salam
BAB.I
PEMBAHASAN
A. Tingkah Laku Altruistik.
Perilaku prososial: tindakan yang
menguntungkan orang lain tetapi tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi
orang yang melakukan tindakan tersebut. Perilaku prososial kadang-kadang dapat
melibatkan risiko di pihak orang yang memberikan bantuan. Istilah-istilah lain,
seperti perilaku menolong, amal kebajikan, dan volunterisme juga digunakan
untuk menggambarkan tentang hal-hal “baik” yang dilakukan orang untuk
memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang lain.
Istilah altruisme terkadang
digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial, tetapi altruisme
yang yang sebenarnya adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk
tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Terdapat juga istilah
bystander yang merupakan orang yang kebetulan ada di tempat kejadian dan turut
menyaksikan kejadian itu.
B. Model Pengambilan Keputusan Untuk Membantu Orang Lain
B. Model Pengambilan Keputusan Untuk Membantu Orang Lain
1. Menyadari Adanya Situasi Darurat.
Situasi darurat tidak dapat terjadi
menurut jadwal, jadi tidak ada cara untuk mengantisipasi kapan, dimana masalah
yang tidak diharapkan akan terjadi. Darley dan Batson menyatakan bahwa ketika
seseorang dipenuhi rasa kekhawatiran-kekhawatiran pribadi, maka tingkah laku
prososial cendrung tidak akan terjadi. Ketika bystander terlalu sibuk atas
segala permasalahan pribadinya, maka bystander tersebut akan cendrung menjadi
acuh tak acuh atau tidak dapat menyadari situasi darurat yang sedang terjadi di
sekitarnya sehingga perilaku prososial atau altruisme tidak akan terjadi.
2. Menginterpretasikan Keadaan
Sebagai Situasi Darurat.
Meskipun bystander memperhatikan apa
yang terjadi di sekitarnya, namun bystander hanya memiliki informasi yang tidak
lengkap dan terbatas mengenai apa yang kira-kira sedang dilakukan seseorang.
Menurut Macrae & Milne, biasanya bystander akan lebih baik mengasumsikan
informasi mengenai yang sedang terjadi dengan penjelasan yang bersifat rutin
dan sehari-hari daripada yang sifatnya tidak biasa atau aneh.
Dengan adanya ketidaklengkapan dalam
memiliki informasi yang jelas, kecendrungan bystander yang berada dalam
sekelompok asing untuk menahan diri dan tidak dapat berbuat apa pun adalah
sesuatu yan disebut sebagai pengabaian majemuk, dimana tidak ada orang yang
tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi, masing-masing tergantung pada yang
lain untuk memberi petunjuk.
3. Mengasumsikan Bahwa Adalah
Tanggung Jawabnya untuk Menolong.
Ketika bystander memberi perhatian
kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu
situasi darurat, tingkah laku prososial akan dilakukan hanya jika bystander
tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong. Pada banyak keadaan, tanggung
jawab memiliki kejelasan pada posisinya. Misalnya polisi adalah mereka yang
harus melakukan sesuatu terhadap kejahatan.
4. Mengetahui Apa yang Harus
Dilakukan.
Bystander yang sedang berada pada
situasi darurat, harus mempertimbangkan apakah ia tahu tentang cara menolong
orang yang berada pada situasi darurat tersebut. Pada umumnya sebagian situasi
darurat mudah ditangani. Jika seorang bystander memiliki pengetahuan,
pengalaman, atau kecakapan yang dibutuhkan, maka ia cenderung merasa
bertanggung jawab dan akan memberikan bantuannya dengan atau tanpa kehadiran
bystander lain.
5. Mengambil Keputusan Terkhir untuk
Menolong.
Meskipun seorang bstander telah
melewati keempat langkah sebelumnya dengan jawaban “iya”, perilaku menolong
mungkin saja tidak akan terjadi kecuali mereka membuat keputusan akhir untuk
bertindak. Pertolongan pada tahap akhir ini dapat dihambat oleh rasa takut
terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial. Secara umum, perilaku
menolong mungkin tidak akan muncul karena biaya potensialnya dinilai terlalu
tinggi, kecuali jika orang memiliki motivasi yang luar biasa besar untuk
membantu.
C. Pengaruh Pribadi Dalam Tingkah Laku Prososial
Terdapat faktor-faktor tambahan yang
juga memiliki pengaruh pada kemungkinan bystander menolong atau tidak, yaitu:
1. Menolong Orang yang Disukai.
Segala hal faktor yang dapat
meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya respon prososial apabila individu tersebut memutuhkan pertolongan.
2. Atribusi Menyangkut Tanggung Jawab
Korban.
Pertolongan tidak diberikan secara
otomatis ketika seorang bystander mengasumsikan bahwa “kejadian tersebut akibat
kesalahan korban sendiri”, terutama jika penolong yang potensial cendrung
mengasumsikan bahwa kebanyakan kesialan dapat dikontrol. Jika demikian, masalah
dipersepsikan sebagai kesalahan korban.
3. Model-Model Prososial: Kekuatan dari
Contoh Positif.
Dalam situasi darurat, kita
mengindikasikan bahwa keberadaan bystander lainnya yang tidak berespons dapat
menghambat tingkah laku menolong. Hal yang juga sama benarnya adalah bahwa
keberadaan bystander yang menolong memberi model sosial yang kuat dan hasilnya
adalah suatu peningkatan dalam tingkah laku menolong di antara bystander
lainnya. Disamping model prososial di dalam dunia nyata, model-model yang
menolong dalam media juga berkontribusi pada pembentukan norma sosial yang
mendukung tingkah laku prososial.
D. Pencarian dan Penerimaan Bantuan
Berdasarkan penelitian para ahli
menunjukkan bahwa laki-laki lebih cendrung memberi pertolongan pada wanita yang
mengalami kesulitan, meskipun wanita pada semua umur mempunyai empati yang
lebih tinggi daripada laki-laki. Misalnya saja banyak situasi darurat yang
membutuhkan keterampilan, dan pengetahuan tertentu yang lebih banyak terdaat
pada pria daripada wanita (mengganti ban kempes).
Meminta Pertolongan. Dengan adanya
ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada situasi darurat dan
ketidakpastian mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respon
prososial bystander. Ambiguitas tersebut dapat menyebabkan penolong yang
potensial untuk menahan diri dan menunggu kejelasan. Cara yang langsung dan
paling efektif bagi seorang korban untuk mengurangi ambiguitas adalah untuk
meminta pertolongan dengan jelas, misalnya “Tolong!” atau “Tolong telepon
polisi!” dan sebagainya. Namun tampaknya jelas dan mudah untuk meminta
pertolongan, tetapi mereka yang membutuhkan sering kali tidak dapat
melakukannya karena berbagai alas an. Misalnya pria dan wanita yang pemalu
enggan mencari pertolongan dari lawan jenis.
Menerima Pertolongan. Ketika
diberikan pertolongan, seseorang sudah seharusnya bereaksi positif dan
berterima kasih, tetapi sering kali reaksi orang tersebut tidak seperti itu.
Seorang penerima pertolongan dapat merasakan reaksi negatif seperti tidak
nyaman dan merasa tidak senang pada orang yang menolong.
Menerima pertolongan dapat
menurunkan self-esteem seseorang, terutama jika penolon adalah teman atau
seseorang yang sama dengan si penerima pertolongan dari segi usia, pendidikan,
dan karakteristik lainnya. Pertolongan dari saudara juga dapat menjadi tidak
menyenangkan, terutama yang berasal dari saudara yang lebih muda. Namun
pertolongan dari seorang yang bukan saudara atau dari orang asing yang tidak
mirip secara relatif tidak mengancam dan hasilnya jauh lebih positif.
Saat seseorang merespon secara
negatif ketika menerima pertolongan, terdapat juga reaksi positif yang tidak
terlalu terlihat. Ketika di tolong merupakan pengalaman yang sangat tidak
menyenangkan sehingga orang tersebut ingin menghindari terlihat tidak kompeten
lagi, kemudian ia termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas self-help di masa
depan.
E. Menuju Masyarakat Prososial
E. Menuju Masyarakat Prososial
Adapun karakteristik kepribadian
bystander yang dapar mendorong tingkah laku prososial, yakni:
1. Empati. Individu yang menolong memiliki rasa empati yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong.
1. Empati. Individu yang menolong memiliki rasa empati yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong.
2. Komponen Kognitif
3. Kebutuhan untuk Disetujui
4. Kepercayaan Interpersonal.
Individu yang memiliki kepercayaan interpersonal yang tinggi akan terlibat
dalam lebih banyak tingkah laku prososial daripada individu yang tidak
mempercayai orang lain.
5. Emosi yang Positif
6. Sosialibilitas dan Keramahan
7. Tidak Agresif
8. Percaya akan Dunia yang Adil.
Individu yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan
percaya bahwa tingkah laku yang baik diberi imbalan (reward) dan tingkah laku
yang buruk diberi hukuman (punishment).
9. Tanggung Jawab Sosial. Individu
yang menolong mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab
untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan.
10. Locus Of Control Internal.
Kepercayaan individual dimana individu dapat memilih untuk bertingkah laku
dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang
buruk. Orang yang menolong mempunyai locus of control internal yang tinggi.
11. Tidak Adanya Egosentris.
Individu yang menolong memiliki sifat egosentris yang rendah.
12. Generativitas atau Komitmen pada
Diri Sendiri
13. Bukan Machiavellian, dimana
individu tidak merujuk pada orang-orang yang dikarakteristikan oleh
ketidakpercayaan, sinisme, egosentris, dan kecendrungan untuk memanipulasi orang
lain. Orang yang Machiavellianism ini cendrung untuk tidak dapat menunjukkan
perilaku prososial.
14. Kesediaan untuk Bertindak.
DAFTAR
PUSTAKA