Rabu, 29 Mei 2013

kepribadian dalam sikologi islam

kepribadian dalam sikologi islam

Definisi  deterministik menganggap kepribadian sebagai keadaan internal individu, sebagai organisasi proses dan struktur di dalam diri seseorang: "kepribadian adalah apa yang menentukan prilaku di dalam sesuatu yang ditetapkan dan di dalam kesadaran jiwa yang ditetapkan".[1] Atau seperti yang dikemukakan oleh Allport, kepribadian terletak di balik individu; dan, "system yang menyusun kepribadian dalam segala hak adalah kecenderungan yang menentukan".[2] Bila didefinisikan demikian, maka kepribadian adalah(1) seperangkat kecenderungan kecondongan internal yang terorganisasi untuk berperilaku dengan cara tertentu; (2) keberadaan tersendiri yang disimpulkan dari perilaku, bukan yang langsung dapat diamati; (3) agak stabil dan konsisten dalam perjalanan dalam waktu dan dipicu oleh rangsangan yang fungsinya sepadan; (4) kekuatan yang menjadi penengah diantara penghargaan seseorang kepada dunia dan kegiatan dalam dalam suatu situasi; dan (5) membantu individu dalam menyaring realitas, mengungkapkan  perasaan, dan mengidentifikasikan diri kepada orang lain.
Unsur utama dalam definisi deterministik ialah pandangan bahwa kepribadian terdiri atas kecenderungan yang stabil untuk berperilaku  bahwa kepribadian menyebabkan, atau setidak-tidaknya menerangkan, tetapnya tanggapan seseorang terhadap berbagai rangsangan.[3]
Bisa disimpulkan bahwasannya kepribadian dalam psikologi adalah sesuatu yang bisa menentukan tingkah laku manusia atau susunan daripada atauran tingkah laku dalam pola respons yang konsisten.[4] Karena dengan kita melihat tingkah laku manusia, maka kita akan mengetahui kepribadiannya. Adapun kepribadian memiliki kesamaan dengan  sikap (attitude). Dan sikap sendiri menurut ahli psikologi yaitu:
  1. Charles Bird mengartikan sikap sebagai suatu yang berhubungan dengan penyesuaian diri seseorang kepada aspek-aspek lingkungan sekitar yang dipilih atau kepada tindakan-tindakannya sendiri. Bahkan lebih luas lagi, sikap dapat diartikan sebagai predisposisi (kecenderungan jiwa)  atau orientasi kepada suatu masalah, institusi dan orang-orang lain.[5]
  2. F. H. Allport berpendapat bahwa sikap adalah suatu persiapan bertindak/berbuat dalam suatu arah tertentu.[6]
Dibedakan adanya 2 sikap, yakni sikap individual dan sikap sosial. Di contohkan misalnya seorang mahasiswa yang terpaksa mengikuti kuliah dari dosen  yang membosankan, menurut dorongan keinginannya ia seharusnya meninggalkannya, (hal iini merupakan sikap individual), akan tetapi mengingat norma kesopanan  dia tetap duduk mendengarkannya meskipun merasa tersiksa karenanya (hal ini termasuk sikap sosial). Dengan demikian maka sikap merupakan suatu kecenderungan yang menentukan atau suatu kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang ditujukan kearah  suatu objek khusus dengan cara tertentu, baik objek itu berupa orang, kelembagaan ataupun masalah bahkan berupa dirinya sendiri.[7]
Oleh karena sikap merupakan tendensi (kecenderungan) atau orientasi, maka ia dapat mengalami perubahan melalui pengalaman atau pendidikan.[8]
Sebagai bangsa yang berjiwa sosialistis-religius sikap pribadi bangsa indonesia berkembang dalam ruang lingkup (pola) sosialistis-religius dimana leit-line (garis hidup) yang menghubungkan dengan khaliknya (garis vertikal) dan dengan masyarakatnya (garis horizontal) merupakan frame or reference (kerangka dasar sikap dan pandangan)  yang selalu berkembang secara harmonis. Dan untuk memperoleh frame or reference itu manusia mengalami perkembangan yang berada  di dalam proses belajar secara individual (individual learning) dan belajar secara sosial (social learning). Antara individual learning dengan social learning itu terjadi suatu perpaduan dalam rangka pembentukan pribadi manusia sebagai anggota masyarakat, atau kelompok. Dalam hubungan inilah maka berbagai faktor yang mempengaruhi proses kegiatan belajar tersebut perlu mendapatkan perhatian dalam penetapan dan penerapan metode dakwah dan penerangan agama oleh karena pada hakikatnya dilihat dari sudut psikologi, dakwah dan penerangan agama itu adalah merupakan proses belajar-mengajar yang diikat oleh adanya komunikasi sekurang-kurangnya antara dua orang/pribadi sampai dengan antar kelompok. Juru dakwah/ penerangan agama adalah pengajar, sedang objek dakwah adalah pribadi yang belajar yang diikat oleh minat (motif).[9]
Faktor-faktor dimaksud menyangkut realitas kehidupan pribadi dan realitas lingkungan di mana seseorang hidup. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Kemampuan psikologis pribadi manusia adalah menjadi salah satu faktor penentu bagi kelangsungan proses belajar mengenai segala ide/pikiran, pengetahuan atau cita-cita yang dibawakan oleh juru dakwah/penerang agama.
Dari kemampuan individual inilah timbul pelbagai kegiatan belajar yang motifnya bagi masing-masing orang tidak harus sama, akan tetapi dengan persamaan tujuan yaitu memuaskan kebutuhan hidup individualnya.
Kemampuan psikologis manusia itu dapat terlihat dalam perkembangan melalui pelbagai aspek yaitu antara lain: pembawaan, pendidikan keluarga, pengalaman dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar, dan perpaduan antara pembawaan dan pengalaman yang diperoleh.[10]
  1. Pembawaan bagi setiap pribadi manusia adalah tidak sama disebabkan ole berbeda-beda unsur keturunan yang diperoleh dari orang tuanya, bahkan keturunan dari nenek moyang atau ras/sukunya.
  2. Pengaruh pendidikan keluarga bagi perkembangan kepribadian manusia adalah paling besar dibanding dengan pengaruh kelompok kehidupan lainnya dalam masyarakat.[11]
  3. Pengalaman dalam masyarakat sekitar baik dalam lingkungan sosial maupun kultural adalah termasuk faktor yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia.[12]
  4. Pengaruh lainnya adalah menyangkut proses pengembangan pribadi manusia berdasarkan pada prinsip konvergensi yakni suatu perkembangan yang bersifat dialektis (saling pengaruh mempengaruhi antara pembawaan dan pengalaman) atau prinsip interaksi antara kemampuan pribadi dengan pengaruh lingkungan baik berupa kelompok/masyarakat maupun kebudayaan.[13]
Susunan Kepribadian[14] dan Unsur-Unsur Kepribadian
Sigmund Freud, di dalam menganalisa pribadi manusia berpendapat bahwa pribadi manusia mempunyai 3 unsur kepribadian:[1]
1)      Id/ nafsu
2)      Ego/ Akal
3)      Superego/ Qalbu
Id adalah sumber segala naluri atau nafsu. Semuanya berada dalam alam ketidak sadaran (bawah sadar). Tujuannya ialah pemuasan jasmaniah. Jadi yang menjadi prinsip baginya ialah kesenangan. Dia tidak mengenal nilai, terutama nilai moral, oleh karenanya ia disebut bersifat immoral.
Ego ialah tempat di mana segala daya-daya yang datang dari Id maupun superego dianalisa, dipertimbangkan, untuk kemudian ditiadakan atau ditindakkan. Dia merupakan pihak pengontrol agar keseimbangan pribadi seseorang tetap ada. Jadi di sini seseorang itu sadar terhadap kemauan-kemauan Id atau seperego. Sebagai pengontrol, maka ia tak dapat tidak memperhatikan dan memperhitungkan realitas dunia luar.
Superego adalah sumber segala nilai, termasuk nilai moral. Di sini ia pun sebagaimana Id, berada dalam alam bawah sadar.  Hanya saja ia lebih menuju ke arah prinsip kesempurnaan rohaniah. Karenanya ia bersifat idiil.
Dalam diri seseorang yang berkepribadian sehat, ketiga sistem kepribadian itu bekerja secara harmonis. Bila terjadi pertentangan-pertentangan akibat dorongan Id ataupun Superego, sedangkan Ego tak mampu mengatasi, maka akan hilang keseimbangan diri seseorang, dan di situ akan lahir gejala-gejala abnormal.
Baik Id, ego dan superego, masing-masing mempunyai daya-daya pendorong yang disebut Cathexis. Sedangkan untuk Ego dan Superego juga memiliki daya penahan yang disebut anti-cathexis. Daya-daya ini dapat pula disebut sebagai "kehendak". Kehendak inilah yang mula-mula menimbulkan kegoncangan dalam keseimbangan pribadi, yang menjelma dalam bentuk pertentangan.[2]
Skema Pribadi Menurut Sigmund Freud
Id
Ego
Superego
Naluri/instin/nafsu immoral
Prinsip kesenangan
Bawah sadar kejasmanian
Cathexis (pendorong)
Tingkah laku impulsif
Irasional (memaksa ego untuk melihat dunia seperti yang diinginkan)
Penimbang
Perinsip kenyataan
Sadar
Cathexis & anti Cathexis
Tingkah laku Zaklijk
Rasional
Dorongan moral
Prinsip kesempurnaan
Bawah sadar kerohanian
Cathexis &anti Cathexis
Tingkah laku idealistis
Irasional (memaksa egi untuk melihat dunia dalam bentuk yang seharusnya)
Reference:
@     Jalaluddin Rahmat, Komunikasi politik. PT. Rosda Karya Bandung. Cet.I 1989.
@     Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000
@     Drs. Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, Surabaya:Al-ikhlas

[1]Ibid, hal. 42
[2] Ibid, hal. 43

[1] Jalaluddin Rahmat, Komunikasi politik. PT. Rosda Karya Bandung. Cet.I 1989. hal 90
[2] Ibid. hal 90
[3] Ibid. hal 90
[4] Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000.hal. 123
[5] Prof. H. M. Arifin Ilham, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 5. 2000.hal. 104
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. 105
[10] Ibid
[11] Ibid, hal. 107
[12] Ibid, hal. 109
[13] Ibid, hal. 113
[14] Drs. Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, Surabaya:Al-ikhlas, hal. 53

1 komentar: