Teori Psikolologi Sosial
Manusia, bukan hanya memiliki bentuk
yang unik dari beberapa makhluk yang ada dibumi, tetapi lebih dari itu
menyimpan sejuta makna dan rahasia yang membangkitkan rasa penasaran
untuk mengurai detail sisi-sisi yang menyertainya. Entah berapa banyak
lagi pemikiran, pandangan, dan diskusi yang akan di lakukan oleh manusia
untuk membuka tabir ‘manusia’ itu sendiri. Tidak henti-hentinya
pembahasan mengenai manusia, baik dalam aspek fisik maupun psikis,
menandakan bahwa misteri manusia masih mengandung sejuta ilmu dan
kejutan-kejutan ilmiah yang layak untuk di gali dan dipresentasikan
dalam dunia ilmu pengetahuan.
Manusia, selain bentuk fisik dan psikis
yang membungkusnya, juga memiliki kemampuan berinteraksi dan menjalin
kerja sama. Ibnu Miskawaih (1994: 54&148) menyebut manusia sebagai homo
homini socius yaitu manusia memerlukan manusia lain selain dirinya.
Untuk mencapai kebahagiaan insaninya, manusia memerlukan satu tempat
yang didalamnya terdapat suatu komunitas tertentu. Komunitas yang dapat
melengkapi eksistensinya, sekaligus menyempurnakan kemanusiaanya.
Melalui komunitas itulah manusia menjalin interaksi dan kerja sama.
Interaksi dan kerja sama manusia tidak didasari atas insting atau naluri
semata melainkan kesadaran untuk saling membutuhkan. (Albert Bandura
dalam Sarwono, 2002:84).
Alfred Adler (dalam Suryabrata,
1990:221) juga menyatakan pada dasarnya manusia merupakan makhluk
sosial. Hal tersebut dapat dilihat dalam wujud konkretnya bahwa manusia
memiliki sikap kooperatif, memiliki hubungan sosial, hubungan antar
pribadi, mengikatkan diri dengan kelompok, dan sebagainya.
Kuypers (dalam Gerungan, 1981:26)
memberikan penjelasan kegiatan unik manusia secara hakiki, yaitu
kegiatan bersifat individual, kegiatan bersifat sosial, dan kegiatan
bersifat ke-Tuhanan. Ketiga kegiatan tersebut saling mendukung, misalnya
dalam interaksi sosial manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara
individual, karena tanpa timbal balik dalam interaksi sosial itu ia tak
akan dapat merealisasikan kemungkinan-kemungkinan dan
potensi-potensinya sebagai individu, di mana dalam interaksi itu akan
ditemukan perangsang-perangsang (stimulus) dan pola asuh di dalam
kehidupan sosial dengan manusia lainnya.
Kehidupan sosial manusia tidak terlepas
dari kehidupan individualnya, begitu juga sebaliknya. Maka muncul
psikologi sosial, cabang dari psikologi, yang mempelajari
pengaruh-pengaruh luar terhadap diri individu. Psikologi sosial
merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha memahami asal usul dan
sebab-sebab terjadinya perilaku dan pemikiran individual dalam konteks
situasi sosial (Baron & Byrne, 2003:5). Teori-teori psikologi sosial
yang ada sekarang dalam menganalisa tingkah laku individu masih
berkiblat pada ilmuwan-ilmuwan barat, seperti Konrad Lorenz, McDougall
& Edmund Wilson (teori genetik); Ivan Pavlov, J.B. Watson, B.F.
Skinner, Albert Bandura, & Lev Vygotsky (teori belajar); Kurt Lewin,
Fritz Heider, Albert Bandura, & kognitif kontemporer (teori
kognitif); Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Erick Erikson, Karen Horney,
Alfred Adler (teori psikoanalisa).
Pendekatan genetik menitikberatkan pada
perilaku sosial manusia berasal dari sebab-sebab biologis. Secara umum
teori ini mengasumsikan bahwa segala perilaku sosial manusia sangat erat
berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak dipelajari atau
bersumber dari genetis. Konrad Lorenz, seorang ethologist yang
mempelajari fenomena sosial hewan. Dia beranggapan bahwa perilaku
agresif merupakan manifestasi dari insting (instinct), dorongan
agresif bawaan sejak lahir yang menjadi kebutuhan untuk melawan demi
menjaga diri. William McDougall (dalam Feldman,1985:10) juga telah
mendasarkan konsep genetik dalam mempelajari perilaku sosial. Dia
meyakini bahwa banyak sekali perilaku manusia yang dapat dijelaskan oleh
insting, yakni perilaku langsung yang tujuannya tidak dipelajari
terlebih dahulu. Ia mencontohkan seorang ibu yang bersikap protektif
terhadap anaknya, McDougall menjelaskan perilaku tersebut dengan sebutan
“insting orang tua”(parental instinct). Begitu juga dengan
orang-orang yang menyesuaikan diri dengan orang lain karena adanya
sebuah “insting berkumpul” (herd instinct). Pada tahap berikutnya
pendekatan genetis menjelma sebagai pendekatan sosiobiologis dengan
tokohnya Edmund Wilson (Bucaille, 1992:57). Sosiobiologi beranggapan
bahwa melalui proses seleksi alam, perilaku sosial terus berkembang yang
membuat spesies manusia terus bertahan hidup (survival).
Perilaku adaptif, misalnya, tumbuh dan berkembang untuk kelangsungan
gen-gen. Perilaku yang dipertahankan atau dikembangkan manusia dalam
evolusi adalah yang dapat meneruskan gen-gen, bukan survival individual.
(Sarlito W.S, 2002:65). Misalnya, anak yang terjebak kebakaran, maka
ayah dengan sekuat tenaga menolong anak. Perilaku ayah tersebut bukan
hanya sekedar mempertahankan nilai-nilai sosial, melainkan lebih dari
itu dan menjadi dasar sosiobiologis, karena ayah mempertahankan
kelangsungan keturunannya.
Teori belajar menjelaskan fenomena
perilaku sosial melalui peran-peran atau aturan-aturan situasional dan
lingkungan sebagai penyebab tingkah laku. Dalam teori ini terdapat tiga
pendekatan; proses belajar operant, proses belajar sosial, dan kerja
sama dengan individu yang lebih mahir (baca Sarwono, 2002:68). Proses
belajar melalui pendekatan operant dalam mengamati perilaku manusia
didasari atas stimulus-respons, reinforcement, dan reward
& punishment. Beberapa nama seperti Ivan Pavlov, J.B. Watson,
dan B.F. Skinner merupakan tokoh pendekatan ini. Sedangkan proses
belajar sosial dipelopori oleh Albert Bandura mengakui adanya faktor
internal (kognitif) sebagai penyebab tingkah laku disamping juga
faktor-faktor eksternal (lingkungan). Pendapat ini menambah faktor
internal atau kesadaran dalam mempelajari tingkah laku manusia. Perilaku
baru di peroleh karena seseorang melakukan suatu modelling pada
pengamatannya terhadap perilaku yang terjadi. Pendekatan ketiga dalam
teori belajar adalah kerja sama dengan individu yang dianggap lebih
mahir. Lev Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar sosial juga dapat
terjadi dengan bekerja sama dengan orang yang lebih mahir (orang tua,
kakak, guru, dan sebagainya). Proses belajar yang terarah ini lebih
cepat karena anak dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu
(Sarlito WS, 2002:73).
Teori yang didasarkan pada pendekatan
kognitif sebagai pijakannya adalah teori Gestalt. Sekalipun teori
gestalt sering kali digunakan dalam area atau penelitian mengenai
persepsi, namun dalam aplikasinya teori ini berimplikasi pada psikologi
sosial. Alasannya adalah para psikolog gestalt telah mengembangkan
teknik eksperimen dalam mempelajari fenomena dan studi mengenai struktur
kelompok, komunikasi interpersonal, dan perubahan sikap adalah yang
memungkinkan untuk dieksperimenkan oleh pendekatan gestalt.
(Feldman,1985:14-15). Wiggins, Wiggins, & Zanden (1994:7-9) membagi
teori psikologi sosial berbasis kognitif menjadi empat pendekatan yaitu
Teori Lapangannya Kurt Lewin, Teori Atribusi dan Sikap Konsistensinya
Fritz Heider, Teori Belajar Sosialnya Albert Bandura, dan Teori Kognitif
Kontemporer. Kurt Lewin dengan teori lapangannya beranggapan bahwa
perilaku (behavior) adalah fungsi dari keadaan diri pribadi (personality)
dan lingkungan (environment) (Sarwono, 2002:81).
Sedangkan menurut Fritz Heider beranggapan bahwa seseorang cenderung
mengatur sikapnya untuk tidak mengalami konflik. Ia juga mengemukakan
teori tentang hubungan antara dua orang. Hubungan antara orang pertama
(P) dengan orang kedua (O) dapat dipengaruhi oleh faktor lain (X).
Sementara Albert Bandura memodifikasi teori belajar sosial dengan
memasukkan intervensi kesadaran (kognitif) seseorang dalam perilakunya.
Bahwa perilaku kita dipengaruhi oleh reinforcement, proses
imitasi, dan proses kognisi. Agak melangkah kedepan pendekatan kognitif
kontemporer memandang manusia sebagai agen aktif dalam menerima,
menggunakan, memanipulasi, dan mentransformasi informasi. Fokus utama
pendekatan kognitif kontemporer adalah bagaimana kita secara mental
menstruktur dan memproses informasi yang datang dari lingkungan. Kita
tidak dapat memahami perilaku sosial, jika tanpa mendapatkan informasi
dan memprosesnya dalam kognisi (Wiggins, Wiggins, & Zanden,
1994:9-10).
Teori psikologi sosial yang lain adalah
teori psikoanalisa. Teori ini dikenal dengan teori psikodinamik karena
teori ini berpandangan bahwa sebagian terbesar tingkah laku manusia
digerakkan oleh daya-daya psikodinamik seperti motif-motif,
konflik-konflik, dan kecemasan-kecemasan (Hall & Lindzey, 1993:8).
Setidaknya ada enam tokoh psikoanalisa yang berpengaruh dalam psikologi
sosial, yaitu Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Erik Erikson, Karen
Horney, Alfred Adler, dan William Schutz. Freud, misalnya, mengatakan
bahwa dasar perilaku adalah insting (inborn motives), insting
eros dan insting thanatos, yang bertempat dalam alam ketidaksadaran
(Sarwono, 2002:58). Jung berpendapat lain bahwa tingkah laku manusia
ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan rasi (kausalitas)
tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi (Hall &
Lindzey, 1993:180). Erik Erikson dikenal dengan teori psikososialnya
yang berkaitan dengan perkembangan. Artinya, bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai mati di bentuk oleh pengaruh-pengaruh
sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang
secara fisik dan psikologis, ada suatu “kecocokan timbal balik antara
individu dengan lingkungan” (Hall & Lindzey, 1993:138). Sementara
Alfred Adler berangggapan lain bahwa yang terpenting dalam menentukan
perilaku adalah tujuan hidup, yaitu pengakuan dari lingkungannya.
Pandangan tokoh-tokoh psikodinamik terhadap tingkah laku manusia
memiliki perbedaan yang sangat tajam. Freud mendasarkan tingkah laku
didorong oleh insting-insting yang di bawah sejak lahir dan dengan
aksioma Jung yang menyatakan bahwa tingkah laku manusia dikuasai oleh
arkhetipe-arkhetipe yang di bawah sejak lahir. Adler berpendapat bahwa
manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar