Minggu, 22 Desember 2013

tokoh psikologi sosial


 Teori Psikolologi Sosial


Manusia, bukan hanya memiliki bentuk yang unik dari beberapa makhluk yang ada dibumi, tetapi lebih dari itu menyimpan sejuta makna dan rahasia yang membangkitkan rasa penasaran untuk mengurai detail sisi-sisi yang menyertainya. Entah berapa banyak lagi pemikiran, pandangan, dan diskusi yang akan di lakukan oleh manusia untuk membuka tabir ‘manusia’  itu sendiri. Tidak henti-hentinya pembahasan mengenai manusia, baik dalam aspek fisik maupun psikis, menandakan bahwa misteri manusia masih mengandung sejuta ilmu dan kejutan-kejutan ilmiah yang layak untuk di gali dan dipresentasikan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Manusia, selain bentuk fisik dan psikis yang membungkusnya, juga memiliki kemampuan berinteraksi dan menjalin kerja sama. Ibnu Miskawaih (1994: 54&148) menyebut manusia sebagai homo homini socius yaitu manusia memerlukan manusia lain selain dirinya. Untuk mencapai kebahagiaan insaninya, manusia memerlukan satu tempat yang didalamnya terdapat suatu komunitas tertentu. Komunitas yang dapat melengkapi eksistensinya, sekaligus menyempurnakan kemanusiaanya. Melalui komunitas itulah manusia menjalin interaksi dan kerja sama. Interaksi dan kerja sama manusia tidak didasari atas insting atau naluri semata melainkan kesadaran untuk saling membutuhkan. (Albert Bandura dalam Sarwono, 2002:84).
Alfred Adler (dalam Suryabrata, 1990:221) juga menyatakan pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Hal tersebut dapat dilihat dalam wujud konkretnya bahwa manusia memiliki sikap kooperatif, memiliki hubungan sosial, hubungan antar pribadi, mengikatkan diri dengan kelompok, dan sebagainya.
Kuypers (dalam Gerungan, 1981:26) memberikan penjelasan kegiatan unik manusia secara hakiki, yaitu kegiatan bersifat individual, kegiatan bersifat sosial, dan kegiatan bersifat ke-Tuhanan. Ketiga kegiatan tersebut saling mendukung, misalnya dalam interaksi sosial manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual, karena tanpa timbal balik dalam interaksi sosial itu ia tak akan dapat merealisasikan kemungkinan-kemungkinan dan potensi-potensinya sebagai individu, di mana dalam interaksi itu akan ditemukan perangsang-perangsang (stimulus) dan pola asuh di dalam kehidupan sosial dengan manusia lainnya.
Kehidupan sosial manusia tidak terlepas dari kehidupan individualnya, begitu juga sebaliknya. Maka muncul psikologi sosial, cabang dari psikologi, yang mempelajari pengaruh-pengaruh luar terhadap diri individu. Psikologi sosial merupakan  ilmu pengetahuan yang berusaha memahami asal usul dan sebab-sebab terjadinya perilaku dan pemikiran individual dalam konteks situasi sosial (Baron & Byrne, 2003:5). Teori-teori psikologi sosial yang ada sekarang dalam menganalisa tingkah laku individu masih berkiblat pada ilmuwan-ilmuwan barat, seperti Konrad Lorenz, McDougall & Edmund Wilson (teori genetik); Ivan Pavlov, J.B. Watson, B.F. Skinner, Albert Bandura, & Lev Vygotsky (teori belajar); Kurt Lewin, Fritz Heider, Albert Bandura, & kognitif kontemporer (teori kognitif); Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Erick Erikson, Karen Horney, Alfred Adler (teori psikoanalisa).
Pendekatan genetik menitikberatkan pada perilaku sosial manusia berasal dari sebab-sebab biologis. Secara umum teori ini mengasumsikan bahwa segala perilaku sosial manusia sangat erat berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak dipelajari atau bersumber dari genetis. Konrad Lorenz, seorang ethologist yang mempelajari fenomena sosial hewan. Dia beranggapan bahwa perilaku agresif merupakan manifestasi dari insting (instinct), dorongan agresif bawaan sejak lahir yang menjadi kebutuhan untuk melawan demi menjaga diri. William McDougall (dalam Feldman,1985:10) juga telah mendasarkan konsep genetik dalam mempelajari perilaku sosial. Dia meyakini bahwa banyak sekali perilaku manusia yang dapat dijelaskan oleh insting, yakni perilaku langsung yang tujuannya tidak dipelajari terlebih dahulu. Ia mencontohkan seorang ibu yang bersikap protektif terhadap anaknya, McDougall menjelaskan perilaku tersebut dengan sebutan “insting orang tua”(parental instinct). Begitu juga dengan orang-orang yang menyesuaikan diri dengan orang lain karena adanya sebuah “insting berkumpul” (herd instinct). Pada tahap berikutnya pendekatan genetis menjelma sebagai pendekatan sosiobiologis dengan tokohnya Edmund Wilson (Bucaille, 1992:57). Sosiobiologi beranggapan bahwa melalui proses seleksi alam, perilaku sosial terus berkembang yang membuat spesies manusia terus bertahan hidup (survival). Perilaku adaptif, misalnya, tumbuh dan berkembang untuk kelangsungan gen-gen. Perilaku yang dipertahankan atau dikembangkan manusia dalam evolusi adalah yang dapat meneruskan gen-gen, bukan survival individual. (Sarlito W.S, 2002:65). Misalnya, anak yang terjebak kebakaran, maka ayah dengan sekuat tenaga menolong anak. Perilaku ayah tersebut bukan hanya sekedar mempertahankan nilai-nilai sosial, melainkan lebih dari itu dan menjadi dasar sosiobiologis, karena ayah mempertahankan kelangsungan keturunannya.
Teori belajar menjelaskan fenomena perilaku sosial melalui peran-peran atau aturan-aturan situasional dan lingkungan sebagai penyebab tingkah laku. Dalam teori ini  terdapat tiga pendekatan; proses belajar operant, proses belajar sosial, dan kerja sama dengan individu yang lebih mahir (baca Sarwono, 2002:68). Proses belajar melalui pendekatan operant dalam mengamati perilaku manusia didasari atas stimulus-respons, reinforcement, dan reward & punishment. Beberapa nama seperti Ivan Pavlov, J.B. Watson, dan B.F. Skinner merupakan tokoh pendekatan ini. Sedangkan proses belajar sosial dipelopori oleh Albert Bandura mengakui adanya faktor internal (kognitif) sebagai penyebab tingkah laku disamping juga faktor-faktor eksternal (lingkungan). Pendapat ini menambah faktor internal atau kesadaran dalam mempelajari tingkah laku manusia. Perilaku baru di peroleh karena seseorang melakukan suatu modelling pada pengamatannya terhadap perilaku yang terjadi. Pendekatan ketiga dalam teori belajar adalah kerja sama dengan individu yang dianggap lebih mahir. Lev Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar sosial juga dapat terjadi dengan bekerja sama dengan orang yang lebih mahir (orang tua, kakak, guru, dan sebagainya). Proses belajar yang terarah ini lebih cepat karena anak dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu (Sarlito WS, 2002:73).
Teori yang didasarkan pada pendekatan kognitif sebagai pijakannya adalah teori Gestalt. Sekalipun teori gestalt sering kali digunakan dalam area atau penelitian mengenai persepsi, namun dalam aplikasinya teori ini berimplikasi pada psikologi sosial. Alasannya adalah para psikolog gestalt telah mengembangkan teknik eksperimen dalam mempelajari fenomena dan studi mengenai struktur kelompok, komunikasi interpersonal, dan perubahan sikap adalah yang memungkinkan untuk dieksperimenkan oleh pendekatan gestalt. (Feldman,1985:14-15). Wiggins, Wiggins, & Zanden (1994:7-9) membagi teori psikologi sosial berbasis kognitif menjadi empat pendekatan yaitu Teori Lapangannya Kurt Lewin, Teori Atribusi dan Sikap Konsistensinya Fritz Heider, Teori Belajar Sosialnya Albert Bandura, dan Teori Kognitif Kontemporer. Kurt Lewin dengan teori lapangannya beranggapan bahwa perilaku (behavior) adalah fungsi dari keadaan diri pribadi (personality) dan lingkungan (environment) (Sarwono, 2002:81). Sedangkan menurut Fritz Heider beranggapan bahwa seseorang cenderung mengatur sikapnya untuk tidak mengalami konflik. Ia juga mengemukakan teori tentang hubungan antara dua orang. Hubungan antara orang pertama (P) dengan orang kedua (O) dapat dipengaruhi oleh faktor lain (X). Sementara Albert Bandura memodifikasi teori belajar sosial dengan memasukkan intervensi kesadaran (kognitif) seseorang dalam perilakunya. Bahwa perilaku kita dipengaruhi oleh reinforcement, proses imitasi, dan proses kognisi. Agak melangkah kedepan pendekatan kognitif kontemporer memandang manusia sebagai agen aktif dalam menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mentransformasi informasi. Fokus utama pendekatan kognitif kontemporer adalah bagaimana kita secara mental menstruktur dan memproses informasi yang datang dari lingkungan. Kita tidak dapat memahami perilaku sosial, jika tanpa mendapatkan informasi dan memprosesnya dalam kognisi (Wiggins, Wiggins, & Zanden, 1994:9-10).
Teori psikologi sosial yang lain adalah teori psikoanalisa. Teori ini dikenal dengan teori psikodinamik karena teori ini berpandangan bahwa sebagian terbesar tingkah laku manusia digerakkan oleh daya-daya psikodinamik seperti motif-motif, konflik-konflik, dan kecemasan-kecemasan (Hall & Lindzey, 1993:8). Setidaknya ada enam tokoh psikoanalisa yang berpengaruh dalam psikologi sosial, yaitu Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Erik Erikson, Karen Horney, Alfred Adler, dan William Schutz. Freud, misalnya, mengatakan bahwa dasar perilaku adalah insting (inborn motives), insting eros dan insting thanatos, yang bertempat dalam alam ketidaksadaran (Sarwono, 2002:58). Jung berpendapat lain bahwa tingkah laku manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan rasi (kausalitas) tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi (Hall & Lindzey, 1993:180). Erik Erikson dikenal dengan teori psikososialnya yang berkaitan dengan perkembangan. Artinya, bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati di bentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis, ada suatu “kecocokan timbal balik antara individu dengan lingkungan” (Hall & Lindzey, 1993:138). Sementara Alfred Adler berangggapan lain bahwa yang terpenting dalam menentukan perilaku adalah tujuan hidup, yaitu pengakuan dari lingkungannya. Pandangan tokoh-tokoh psikodinamik terhadap tingkah laku manusia memiliki perbedaan yang sangat tajam. Freud mendasarkan tingkah laku didorong oleh insting-insting yang di bawah sejak lahir dan dengan aksioma Jung yang menyatakan bahwa tingkah laku manusia dikuasai oleh arkhetipe-arkhetipe yang di bawah sejak lahir. Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar